Rabu, 12 Maret 2014

MUDAHNYA MEMPELAJARI H A IA D, NIFAS DAN ISTIHADAH



Mudahnya Mempelajari
H A I D
Nifas, dan Istihadhah


Buku ini mencoba menjawab kesulitan-kesulitan
masalah darah Haid, Nifas dan Istihadhah
dengan kajian yang tidak hanya menggunakan literatur
 madzhab Syafi’iyah
 

Ulama mengatakan:
“Orang awam, jika pekerjaannya
 mencocoki salah satu madzhab yang 4,
 maka pekerjaannya sah,
 walaupun tidak berniat mengikuti ikut madzhab tersebut”
(dalam  Tarsyikh, 134)



Oleh:
Nur Hasyim S. Anam

Ditulis Ulang Oleh:
Abdurrahman Khazin




Mukaddimah

Alhamdulillah, shalwat dan salam-Nya semoga tetap tercurahkan keharibaan baginda Nabi besar Muhammad shalla allahu ‘alaihi wa sallama.
Benar apa yang telah disampaikan oleh Imam Nawawi dalam kitab Majmu’ Syarh Muhadzab, II/344, bahwa bab haid telah masuk pada jajaran rangking teratas tingkat kerumitan dan kesulitannya.
Sedikitnya ada 3 kesulitan yang kami temui ketika harus memberikan kursus di berbagai tempat. Pertama: sulitnya mencari waktu luang untuk mengadakan kursus, yang dalam sekali kursus minimal 4-5 jam. Sementara kebanyakan pesertanya adalah ibu-ibu yang memiliki kesibukan berbeda-beda.
Kedua: jika waktu telah ditentukan, maka dari waktu yang demikian melelahkan itu ‘sangat tidak mungkin’ peserta dapat memahami dengan maksimal. Padahal kami hanya menjelaskan poin-poin terpenting saja.
Ketiga: adalah ketika penjelsan yang sedemikian rumitnya, ternyata banya yang ‘mustahil’ bisa diterapkan. Sehingga sering secara guyonan kami mengatakan: mungkin ini tidak ada wanita yang snggup mengamalkan kecuali waliyullah.
Maka mencoba menjawab kesulitan-kesulitan tersebut dengan mengkajinya tidak hanya menggunakan literatur madzhab Syafi’iyah. Jadilah buku Mudahnya Mempelajari Haid, Nifas dan Istihadhah yang sedang anda baca ini.
Kita tidak perlu gamang untuk mengamalkan pendapat madzhab lain selain Syafi’iyah. Mengingat maqolah ulama yang mengatakan orang awam, jika pekerjaannya mencocoki salah satu madzhab yang 4, maka pekerjaannya sah, walaupun tidak berniat mengikuti ikut madzhab tersebut (baca Tarsyikh, 134). Dan dalam menyusun buku ini kami berusaha agar kita tidak terjebak talfiq (mengamalkan pendapat beberapa madzhab yang bertentangan dalam satu tuntutan hukum).
Satu yang jadi tujuan kami, bagaimana haid, nifas dan istihadhah bisa dengan mudah dipahami oleh masyarakat yang segalanya ingin serba instan (tanpa kursus), yang tentunya tetap sesuai aturan-aturan yang telah disepakati oleh salaf al-shaleh.
Secara khusus kami membahas pula masalah keputihan. Tentang bagaimana terjadinya pemahaman kontroversial kami, sehingga mengatakan keputihan sebagai haid, (dalam bab haid).


1
HAID

A.  Definisi Haid
Haid adalah darah yang keluar secara berkala melalui vagina (bukan setelah melahirkan) pada usia subur (9 tahun lebih).

B.  Hukum Mempelajari Haid
Setiap wanita wajib mempelajari haid dan hal-hal yang terkait. Bahkan, sang suami tidak boleh melarang istrinya keluar rumah untuk belajar hukum-hukum haid, kecuali bila dia sanggup mengajar sendiri istrinya.

C.  Usia Haid
Wanita dapat mengalami haid minimal pada usia 9 tahun kurang 15 hari dengan hitungan kalender hijriyah.
Wanita yang mengalami pendarahan beberapa hari sebelum usia minimal haid, dan memanjang hingga memasuki usia minimal haid, maka yang dihukumi haid hanya darah yang masuk usia haid. Misalnya jika mengalami pendarahan 10 hari pada usia 9 tahun kurang 20 hari, maka 5 hari pertama dari darahnya tidak dihukumi haid, dan 5 hari berikutnya dihukumi haid.
Para ulama berbeda pendapat mengenai masa monopouse (batas akhir usia haid). Menurut Hambali usia monopouse ialah 50 tahun, demikian juga menurut sebagian ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah. Sementara menurut Malikiyah 70 tahun.
Hanafiyah dan Syafi’iyah sepakat bahwa darah yang terjadi pada usia monopouse dihukumi haid.

D.  Masa Haid
Minimal haid adalah selama 24 jam jika terus-menerus. Maksimalnya adalah 15 hari dan 15 malam (360 jam) walaupun darahnya putus-putus, namun jika dijumlah darahnya mencapai 24 jam atau lebih.
Contoh: wanita pada tanggal 1 mengalami pendarahan 2 jam dan bersih 72 jam (3 hari), kemudian mengalami pendarahan lagi 20 jam, lalu bersih 10 hari. Selanjutnya keluar darah lagi 2 jam, maka semuanya dihukumi haid, karena jika dijumlah  tepat 24 jam dalam kurun waktu 15 hari.
Ulama berbeda pendapat mengenai masa bersih di sela-sela haid. Ada yang menghukumi haid, ada yang menghukumi suci. Oleh karena itu, wanita yang haidnya putus-putus, setiap setiap darahnya berhenti, maka jika mengikuti pendapat yang menghukumi suci, wajib bersesuci dan shalat.
Semisal ada orang mengalami haid 2 hari, lalu bersih. Dia mengira dirinya sudah suci, kemudian melaksanakan puasa. Selang 10 hari kemudian ternyata keluar darah lagi selama 2 hari, maka semua darahnya dihukumi haid. Sedangkan puasa yang dia lakukan di masa bersih, jika mengikuti pendapat Malikiyah dan sebagian Syafi’iyah, maka hukumnya sah.
Wanita yang kebiasaan haidnya 7 hari, lalu pada suatu saat setelah mengalami pendarahan 2 hari, darahnya bersih. Maka dia boleh menunggu (tidah shalat) hingga hari ke 7 (ikut pendapat sebagian Syafi’iyah) dengan asumsi kemungkinan darahnya akan keluar lagi. Namun, jika ternyata darahnya tidak keluar lagi, dia harus mengqado shalatnya.
Wanita yang mengalami haid dapat mengetahui bahwa darahnya bersih dengan cara memasukkan segumpal kapas ke dalam vaginanya. Jika pada kapas tersebut ada bercak (sekalipun hanya cairan keruh) berarti belum bersih/belum mampat. Meskipun cairan tersebut tidak sampai mengalir keluar pada vaginanya bagian luar (bagian yang tampak ketika sedang jongkok buang air).
Banyak mereka yang salah paham dan menganggap cairan keruh adalah keputihan, bukan haid. Padahal kenyataannya 4 madzhab sepakat yang sedemikian itu disebut haid. Kesalahpahaman ini berakibat fatal.
Contoh: sebagian besar wanita mengalami pendarahan haid seperti ini. Pada mulanya keluar cairan keruh keputihan, dan itu berlangsung hingga 2 hari (misalnya), lalu keluar merah 4 hari. Kemudian keluar cairan keruh lagi selama 2 hari, maka haidnya 8 hari. Sementara sebagian besar wanita mengira bahwa yang dihukumi haid hanya darah merah (yang 4 hari) saja. Sedangkan yang keruh dihukumi suci. Jadi pada saat merahnya berganti keruh, dia pun mandi. Kenyataannya dia masih dalam keadaan haid. Maka mandinya tidak sah. Kelak ketika cairan keruh sesungguhnya haid itu bersih, dia tidak mungkin mengulangi mandinya lagi. Dan shalat yang dilakukannya pun tidak pernah sah, maka jadilah dia dihukumi tidak pernah shalat.
Wanita yang mengeluarkan darahnya putus-putus selama 15 hari 15 malam, tetapi setelah dijumlahkan masa keluarnya tidak sampai 24 jam, tidak dihukumi haid. Namun, menurut madzhab Maliki dihukumi haid, sebab menurut Malikiyah minimal haid itu hanya sebentar (setetes).
Setiap wanita yang sedang haid wajib melihat keadaan darahnya setiap menjelang akhir waktu shalat. Jika darahnya bersih, maka dia wajib melaksanakan shalat tersebut menurut madzhab Maliki, walaupun kelak darahnya keluar lagi. Demikian menurut sebagian ulama Syafi’iyah yang menyatakan bahwa masa bersih di sela-sela haid dihukumi suci.
Wanita hamil yang mengalami pendarahan, menurut madzhab Syafi’i dan Maliki disebut haid. Namun, menurut Hanafi dan Hambali bukan haid.

E.  Masa Suci
Minimal suci yang memisahkan antara 2 haid adalah 15 hari 15 malam (360 jam), dan maksimalnya tidak terbatas.
Madzhab Syafi’i dan Hambali memperbolehkan minum obat untuk mencegah haid. Jika setelah minum obat ternyata haidnya berkurang atau melebihi kebiasaannya, atau bahkan warna darahnya berubah dari yang semestinya (merah misalnya), ternyata setelah minum obat yang keluar hanya berupa cairan keruh berhari-hari, itu semua jika sesuai dengan ketentuan haid (antara 1 sampai dengan 15 hari), maka tetap dihukumi haid. Menurut madzhab Maliki darah yang keluar karena obat tidak dihukumi haid.
Kesimpulannya, haid tidak harus terjadi dalam setiap bulan. Begitu juga sebaliknya. Dalam 1 bulan mungkin terjadi 2 haid. Sebagai contoh, hari pertama haid, suci 20 hari, lalu haid lagi. Kedua-duanya dinamakan haid. Karena memenuhi kreteria haid, yaitu minimal 24 jam dan kreteria masa suci, yaitu minimal 15 hari.

F.  Keputihan
Keputihan adalah penyakit yang diderita kaum Hawa. Ini ditandai dengan keluarnya cairan pada daerah kelamin. Penyebabnya bermacam-macam. Ada yang desebabkan jamur, inveksi kelamin, tumor pada ovarium, dinding rahim, kanker dan sebagainya. Oleh karena itu, dianjurkan jika menemui gejala ketidak teraturan haid, secepatnya memeriksakan diri ke dokter.
Warna cairan keputihan bermacam-macam. Dari yang berupa cairan kental bening, keruh, putih, sampai yang kekuning-kuningan. Tak jarang terasa gatal sehingga mengakibatkan timbulnya peradangan dan luka.
Banyak orang menghukumi keputihan bukan sebagai haid. Dengan alasan bahwa keputihan itu penyakit. Mengingat definisi haid yang menyatakan bahwa haid adalah darah yang secara tabi’at (bukan karena penyakit) keluar dari rahim dan seterusnya.
Untuk darah keputihan yang berwarna bening atau berasal dari vagina, kami sependapat dengan ini. Tapi, jika keputihan secara umum dihukumi bukan haid, kami kurang sependapat, karena sebagaimana kita ketahui bahwa, ada keputihan yang berasal dari rahim. Sementara kami masih mempertanyakan, apakah definisi haid di atas sudah jami’ mani’[1]. Sebab semisal wanita yang mengalami pendarahan terus-menerus (karena penyakit), jika mengacu pada definisi haid, tentu semuanya tidak dihukumi haid. Kenyataannya ada beberapa hari yang dihukumi haid. Lalu apa yang membedakan antara darah yang dihukumi haid dengan darah istihadhah dalam kasus ini? Dan di sini kami menganggap bahwa definisi haid seperti di atas belum jami’ mani’. Lalu jika definisi haid seperti di atas dinyatakan tidak jami’ mani’, tentunya tidak dapat dipakai sebagai dalil bahwa keputihan itu bukan haid. Sehubungan dengan apa yang disampaikan oleh Imam Syafi’i, bahwa:
الصفرة و الكدرة  في أيام الحيض حيض (المهذب)
Cairan kuning atau keruh (putih) yang tidak kurang dari 24 jam dan tidak lebih 15 hari disebut haid.
Pertnyaannya adalah: apakah menghukumi darah keputihan sebagai bukan haid tidak bertentangan dengan penyampaian Imam Syafi’i di atas?
Atau jika definisi seperti di atas dinyatakan telah jami’ mani’, maka timbul pertanyaan baru, apakah diagnosa dokter yang menyatakan bahwa cairan yang keluar melalui vagina itu menrupakan penyakit, bisa dijadikan rujukan bahwa cairan tersebut bukan haid? Sementara ini kami belum menemukan jawabannya (semoga pembaca bisa membantu).
Lain dari itu, beberapa buku yang menyatakan keputihan sebagai bukan haid, tidak lebih hanya berpijak pada dalil tentang lendir vagina (bening mirip madzi) yang sudah jelas sama sekali berbeda dengan darah keputihan.
Dari pemikiran ini, maka kami cenderung menghukumi keputihan (selain yang bening) sebagai haid. Kecuali jika dipastikan bahwa, cairan tersebut keluar (berasal) dari vagina, bukan dari rahim.

G.  Mustahadhah dalam Madzhab Maliki
Wanita yang mengalami pendarahan haid lebih dari 15 hari 15 malam disebut mustahadhah.
Ketentuan hukumnya sebagai berikut;
1.     Bila sebelumnya belum pernah mengalami haid, maka yang dihukumi haid hanya sampai dengan 15 hari 15 malam.
2.     Bila  sudah pernah haid, maka haidnya hanya sebatas kebiasaan haidnya yang terbanyak.
Selebihnya dihukumi suci sampai sembuh, kecuali darahnya mengalami perubahan warna atau baunya yang bisa menjadi pembeda dengan istihadhahnya (keruh dan kuning), maka dihukumi haid yang lain dengan syarat sudah dipisah minimal masa suci dengan haid sebelumnya.
Misalnya wanita yang memiliki kebiasaan haid 5 hari, lalu 2 hari, setelah itu 3 hari, kemudian 8 hari dan yang terakhir 4 hari. Berikutnya dia mengalami pendarahan 40 hari merah, kemudian 5 hari hitam, dilanjut dengan merah 20 hari. Maka haid yang 8 hari pertama dihukumi haid (sesuai dengan kebiasaanya yang terbanyak). Demikian jugan dengan darah hitam yang 5 hari, dihukumi haid yang lain, karena telah dipisah dengan darah yang 8 hari dengan minimal masa suci, selain itu dihukum suci.
Bagaimana jika darah yang mengalami perubahan (warna atau baunya) itu melebihi dari kebiasaan haidnya yang terbanyak? Maka yang dihukumi haid hanya sebatas kebiasaannya yang terbanyak.
Jadi, misalnya pada contoh di atas dia mengalami pendarahan 50 hari merah, lalu 9 hari hitam, kemudian merah lagi, 8 hari yang pertama dihukumi haid. Sedangkan pada saat 9 hari hitam tersebut yamg dihukumi haid hanya 8 hari sesuai dengan kebiasaan haidnya yang terbanyak.
Wanita yang mengalami pendarahan haid 9 hari, lalu bersih 6 hari, kemudian mengalami pendarahan lagi 12 hari, maka semua darahnya dihukumi haid, jika mengikuti sebagian Malikiyah yang mengatakan minimal masa suci antra 2 kali haid adalah 5 hari.


2
NIFAS

A.  Definisi Nifas
          Nifas adalah darah yang keluar setelah melahirkan, meskipun yang dilahirkan hanya berupa ‘alaqoh (gumpalan darah) atau mudghah (gumpalan daging). Atau yang dikenal dengan keguguran. Walaupun plasentanya (ari-ari, jw) masih tertinggal di dalam rahim.

B.  Masa Nifas
          Waktu nifas minimal 1 tetes atas sebentar. Maksimalnya 60 hari 60 malam, terhitung dari sejak keluarnya seluruh tubuh janin atau gumpalan daging.
          Hitungan nifas dimulai sejak usia melahirkan, bukan sejak keluarnya darah. Tetapi yang dihukumi nifas sejak keluarnya darah. Jadi wanita yang melahirkan tanggal 1 tanpa pendarahan, kemudian tanggal 10 baru keluar darah, maka hitungan 60 hari 60 malam dihitung sejak tanggal 1. Sedangkan nifasnya dihitung mulai tanggal 10. Jadi, antara tanggal 1 sampai dengan tanggal 9 dihulkumi suci, dan tetap wajib melaksanakan shalat.
          Jika jarak antara selesai melahirkan dengan keluarnya darah itu mencapai 15 hari 15 malam (360 jam), maka darah tersebut tidak dihukumi nifas, melainkan darah haid.
Wanita yang mengalami pendarahan putus-putus sebelum 60 hari 60 malam setelah melahirkan, maka semua darahnya dihukumi nifas. Asalkan masa putusnya tidak sampai 15 hari 15 malam. Sedangkan masa bersih di sela-sela nifas hukumnya sama dengan masa bersih di sela-sela haid. Ada yang menghukumi suci, ada yang menghukumi nifas.
Namun, jika jarak putusnya mencapai 15 hari 15 malam, maka darah setelahnya dihukumi haid. Sedangkan masa bersihnya dihukumi suci.
Pendarahan yang menyertai kelahiran atau pendarahan karena kelahiran, namun terjadi sebelum bayi keluar dari rahim tidak dihukumi nifas, atau pun haid. Namun jika menurut madzhab Hambali nifas jika terjadi maksimal 3 hari sebelum melahirkan.

C.  Masa Suci
Masa suci yang memisahkan haid dengan nifas atau nifas dengan nifas tidak harus 15 hari 15 malam (360 jam). Mungkin kurang dari 15 hari 15 malam (360 jam), atau bahkan tidak ada masa suci sama sekali. Dengan kata lain, tidak sama dengan masa suci antara 2 haid.
Beberapa contoh:
Contoh 1: seorang ibu melahirkan bayi kembar, antara kelahiran yang pertama dengan kelahiran yang kedua dia mengalami pendaran. Maka pendarahan setelah kelahiran yang pertama dihukumi nifas, lalu setelah kelahiran yang kedua juga dihukumi nifas yang lain. Dalam contoh ini, tidak terdapat masa suci yang memisahkan di antara 2 nifas.
Contoh 2: wanita hamil mengalami haid dan tidak putus hingga melahirkan. Kemudian mengalami pendarahan selama 10 hari. Dalam contoh ke 2 ini, darah yang keluar sebelum melahirkan dihukumi haid. Darah yang setelah melahirkan dihukumi nifas. Haid dan nifasnya tidak dipisah oleh masa suci.
Contoh 3: wanita yang mengalami nifas dan telah genap 60 hari. Darahnya mampet sebentar, lalu mengeluarkan darah lagi selam 2 hari. Di sini, darah yang keluar setelah bersih disebut haid. Sedangkan bersihnya darah disebut suci. Artinya, masa suci yang terjadi antara nifas dan haid hanya sebentar.
Catatan penting!
‘Alaqah (gumpalan darah) yang keluar dari rahim wanita memiliki 3 konsekwensi hukum, yaitu:
1.   Darah yang keluar setelahnya dihukumi nifas,
2.   Wajib mandi, dan
3.   Membatalkan puasa.
Untuk gumpalan daging (mudghah), di samping memiliki 3 hukum di atas juga memiliki aspek hukum yang lain, yakni berakhirnya masa iddah.

D.  Mustahadhah dalam madzhab Maliki
          Wanita yang mengalami pendarahan nifas lebih 60 hari 60 malam, maka yang dihukumi nifas hanya 60 hari 60 malam, selebihnya dihukumi suci.

3
BEBERAPA ASPEK HUKUM
BAGI YANG BERHADATS

A.  Haram  Bagi Hadats Kecil
          Hal-hal yang diharamkan bagi yang berhadats kecil adalah:
1.     Shalat dan sejenisnya. Seperti sujud tilawah dan sujud syukur.
2.     Menyentuh mushhaf (al-Quran). Sesuatu bertuliskan ayat suci al-Quran untuk dikaji atau dibaca, menurut quol ashah (perkataan ulama yang paling soheh) sama dengan mushhaf. Madzhab Maliki memperbolehkan orang haid atau nifas menyentuh mushhaf untuk belajar atau mengajar.
3.     Membawa mushhaf. Boleh membawa mushhaf yang disertai benda lain (termasuk mushhaf yang dijadikan satu dengan kitab-kitab yang lain dalam satu jilid) dengan niat tidak hanya membawa mushhaf. Boleh juga membawa tafsir al-Quran (termasuk al-Quran terjemah) yang lebih banyak tafsirnya dari pada al-Qurannya. Madzhab Maliki memperbolehkan orang haid atau nifas membawa mushhaf untuk belajar dan mengajar.
4.     Thowaf di Baitullah.

B.  Haram untuk Hadats Besar
          Hal-hal yang diharamkan bagi yang berhadats besar adalah:
1.     Semua yang diharamkan bagi yang berhadats kecil.
2.     Membaca al-Quran dengan niat memabaca al-Quran. Boleh memabaca al-Quran sampai hatam dengan niat dzikir menurut pendapat yang kuat dari kalangan Syafi’iya. (baca Hasyiah al-Jamma, 1/157.berpuasa.
3.     Berpuasa.
4.     Berdiam di Masjid, meskipun hanya sebentar.
Masuk dan keluar  masjid dari satu pintu, sama dengan diam.  Demikian juga berputar-putar di masjid.
Madzhab Hambali memperbolehkan  orang haid diam di masjid bila yakin darahnya tidak mengotori masjid. Dengan syarat berwudhu.

C.  Haram Bagi Haid
   Hal-hal yang diharamkan bagi yang haid ialah:
1.     Semua yang diharamkan bagi yang berhadast besar.
2.     Masuk atau berjalan di masjid, bila khawatir darahnya menetes.
3.     Bersuci dari hadas. Baik hadas besar, maupun hadas kecil.
4.     Bercumbu rayu bersama suami dengan bersentuhan kulit yang terdapat antara pusar dan lutut si istri. Namun an-Nawawi memilih pendapat yang memperbolehkannya selain bersetubuh.
5.     Jima’ (berstubuh).
6.     Ditalak atau di ceraikan. Ini haram bagi suami.
          Haram melakukan hal-hal tersebut, meskipun haidnya sudah berakhir, bila belum bersuci (mandi atau tayamum). Kecuali berpuasa, talak, wudluk atau tayammum, dan lewat di masjid, maka tidak perlu mandi terlebih dahulu. Demikian juga jima’ menurut sebagian ulama.
          Mentalak atau menjimak istri dalam keadaan haid termasuk dosa besar. Adalah kufur, bagi yang menghalalkan bersetubuh pada saat mana disepakati ulama sebagai darah haid.

D.  Sunah
          Wanita yang telah bersih dari haid, setelah bersuci, sangat disunahkan memberi wewangian pada vaginanya bagian luar. Yang dimaksud vagina bagian luar adalah vagina yang tampakketika sedang jongkok buang air.
          Sunnah memberi wewangian ini kalau ia tidak berpuasa atau sedang ihram. Sebab orang yang berpuasa itu makruh memakai wewangian. Sedang orang ihram haram memakai wewangian.
          Banyak wanita bertanya, Bagai mana hukumnya pada saat haid bersisir sehingga rambutnya rontok?
Penjelasannya sebagai berikut.:
          Imam Ghazali dalam kitab ihya’nya menganjurkan kepada mereka yang sedang berhadast besar (junub, haid, nifas dan sebagainya). untuk tidak memotong bagian dari tubuhnya (kuku, rambut, dan sebagainya) sampai dia mensucikan diri. Karena segala anggota tubuh yang terlepas tersebut kelak pada hari kiamat akan kembali dalam keadaan berhadast (kotor). Akan tetapi hal ini masih dipertanyakan mengingat anggota tubuh yang kembali lagi kelak di hari kiamat itu adalah anggota tubuh yang ada ketika ia meninggal. Jadi bukan angota tubuh yang terlepas di kala hidupnya. (baca hasyiyat al-Bujarami ala al-Khatib,1/218).
          Dan kami berpendapat bahwa, konsekwensi dari apa yang telah dikemukakan oleh al-Ghazali di atas itu,paling tinggi adalah sunnah disamping dalilnya masih dipertanyakan. Sedangkan wanita mengembirakan suami hukumnya wajib dungan dalil yang sangat jelas. Pertanyaannya adalah, Apakah suami akan gembira bila melihat istrinya awut-awutan tidak bersisir? tentu jawabannya tidak gembira. Oleh karena itu bersisir hukumnya wajib.
          Bayak wanita menyimpan rambutnya yang rontok di kala haid. Dengan harapan akan di mandikan  saat ia suci. Padahal yang sedemikian itu tidak ada dalilnya dan membasuh (memandikan) rambut yang sudah rontok sama sekali tak ada gunanya. Yang mereka lakukan hanya ikut-ikutan orang bodoh.
                              
E.  Perbedaan Hukum antara Haid dengan Nifas
          Semua hukum yang berlaku pada haid, juga berlaku pada nifas. Kecuali dalam 4 hal:
1.     Baligh. Nifas tanda baligh. Karena baligh diketahui dengan kehamilan yang terjadi sebelumnya.
2.     Iddah. Nifas tidak menjadi ukuran masa iddah.
3.     Ila’. Nifas tidak termasuk hitungan dalam sumpah ila’[2]
4.     Nifas dapat memutus berturut-turutnya puasa kaffarat menurut salah satu dari dari dua pendapat.
          Selain empat hal ini, antara haid dan nifas sama dalam segala aspek hukum.

F.  Mandi
          Sebgai mana telah dijelaskan di muka, bahwa dalam haid atau nifas dilarang mandi hadast, ataupun wudlu. Bukankah wanita yang melahirkan wajib mandi wiladah? Kapan hal itu dilaksanakan ? mandi wiladah tidak boleh dilaksanakan dalam keadaan nifas. Mandi wiladah dilaksankan bersamaan dengan mandi nifasnya.
          Permasalahan ini sama dengan orang yang dalam keadaan hamil bersetubuh dengan suaminya. Dan belum sempat mandi dia haid, dan darahnya tidak bersih hingga melahirkan. Dilanjutkan dengan nifas. Maka untuk mensucikan diri dia cukup mandi 1 kali dengan niat menghilangkan hadats besar.
Dalam mandi hadats wajib meratakan air ke seluruh anggota tubuh luarnya, termasuk hal-hal yang kelihatan pada waktu buang air.



4
HUKUM SHALATNYA

A.  Hukumnya
          Wanita yang sedang haid atau nifas tidak terkena hukum wajibnya shalat dan makruh meng-qodha-nya (menggantinya).

B.  Datangnya penghalang
          Jika seseorang kedatangan penghalang (haid misalnya) setelah masuk waktu shalat, padahal belum melaksanakan shalat tersebut, maka apabila waktu shalat tersebut masih cukup untuk melaksanakan shalat yang seringan mungkin[3], dia wajib meng-qadha’­ shalat yang difardhuhkan pada waktu itu saja. Akan tetapi, jika tidak cukup untuk shalat yang seringan mungkin, dia tidak wajib meng-qadha’ shalatnya.
Misalnya, seorang wanita yang begitu masuk shalat dhuhur langsung shalat. Dan dia memanjangkan shalatnya. Ternyata pada saat tasyahud akhir (sebelum salam), dia mengalami pendarahan haid. Maka jika sudah suci, wajib menh-qodha’ shalat dhuhur tersebut. Sebab seandainya shalat tersebut dilaksanakannya dengan hanya mengerjakan rukunnya saja, niscaya dia dapat menyelesaikan shalat tersebut.
Menurut Malikiyah dan Hanafiyah, wanita yang mendapati halangan di akhir waktu shalatnya tidak berkewajiban untuk melaksanakan shalat tersebut.

C.  Berakhirnya penghalang
          Seseorang yang penghalangnya berakhir di pertengahan waktu shalat, jika masih ada waktu yang cukup untuk takbirotul ihrom, maka wajib mengerjakan shalat pada waktu itu saja. Namun, jika shalat sebelumnya bisa dijama’, maka kedua shalat tersebut wajib dikerjakan.



5
DI’IMU AL-HADATS

          Wanita yang mengalami pendarahan selain darah haid dan nifas, darah tersebut dihukumi darah istihadhah.
Darah istihadhah sama dengan air kencing biasa. Orang yang mengalaminya, dalam segala aspek hukum, sama dengan orang yang mengalami selalu kencing (beser). Orang ini disebut da’imu al-hadats (orang yang selalu berhadats), sehingga tetap shalat dan puasa. Bahkan boleh disesutuhi, meskipun darahnya sedang mengalir.
Da’imu al-hadats yang hendak shalat fardhuh, wudhuknya wajib dilaksanakan setelah masuknya waktu shalat. Setiap akan bersuci (wudhuk atau tayammum), wajib membersihkan kemaluannya dengan air atau istinja’ dengan benda padat dan sebagainya. Lalu menyumbat lubang kemaluannya dengan sejenis kapas yang suci.
Jika setelah disumbat hadatsnya (darah atau kencing) masih menembus keluar, dia wajib memakai pembalut dan bercelana dalam yang kuat. Untuk pria, hal ini dilakukan dengan cara membalut kepala penisnya, lalu mengikatnya.
Semua ini dilakukan jika memang:
a.      Tidak membahayakan diri, misalnya; menimbulkan rasa sakit atau panas dengan terhentinya aliran darah. Jika hal ini dirasa membahayakan atau menyakitkan, maka boleh tidak melakukan penyumbatan atau pembalutan.
b.     Tidak berpuasa. Bagi mereka yang berpuasa, tidak boleh melakukan penyumbatan, karena membatalkan puasa.
Jika hadatsnya masih merembes keluar karena darah atau kencingnya sangat kuat (bukan karena kurang kuat membalut), tidak menjadi masalah. Artinyanya, shalat sah, karena wudhuknya tidak batal. Berbeda halnya jika hadatsnya tersebut merembes karena kurang kuat dalam membalut.
Ketika menyumbat tidak boleh ada kain atau kapas penyumbat yang keluar, atau berada pada vagina atau penis bagian luar. Meskipun sedikit, karena jika ada penyumbat yang keluar ke vagina atau penis luar (walaupun sehelai benang), maka shalatnya tidak sah. Karena dianggap membawa barang najis. Yang dimaksud vagina bagian luar adalah, daerah yang tampak ketiaka jongkok buang air.
Semua hal di atas (membasuh kelamin, menyumbat sampai dengan shalat) harus dilaksanakan setelah masuknya waktu shalat dan tidak boleh lamban. Jika setelah wudhuk dia tidak langsung shalat, maka wudhuknya batal. Kecuali kelambanannya tersebut untuk kemaslahatan shalat, misalnya; untuk menup aurat, menunggu azan atau iqomah, mencari arah kiblat atau menunggu jamaah.
Perlu diketahui bahwa, wudhuk bagi orang yang selalu hadats (termasuk mustahadhah) hukumnya sama dengan orang yang bertayammum. Dalam artian, niat wudhuknya sama dengan niat tayammum, tidak boleh wudhuk sebagaimana biasanya.
Contoh niat bagi mustahadhah adalah;
a.      Niat wudhuk agar diperbolehkan shalat ashar,
b.     Niat wudhuk agar diperbolehkan membaca al-Quran atau lainnya.
          Satu kali wudhuk yang diniatkan untuk shalat fardhuh hanya dapat dipakai untuk satu kali shalat fardhuh dan beberapa shalat atau ibadah sunnah, sampai dengan keluarnya waktu shalat. Jadi, misalkan wudhuknya untuk shalat dhuhur, maka setelah melakukan shalat dhuhur dia boleh melaksanakan ibadah-ibadah sunah yang lain (tanpa mengulangi wudhuk) sampai keluarnya waktu shalat dhuhur. Setelah itu, wudhuknya dianggap batal.
Di’amu al-hadats yang setelah whuduk hadatsnya (darah atau kencing) berhenti beberapa saat, maka berlaku ketentuan sebagai berikut:
a.      Jika tidak tau kapan hadatsnya keluar lagi atau tau bahwa hadatsnya akan keluar lagi dalam waktu yang lama (cukup untuk wudhuk dan shalat yang seringan mungkin), maka wajib mengulangi wudhuknya. Dengan catatan, jika hadatsnya keluar kembali dalam waktu yang tidak cukup untuk wudhuk dan shalat, maka wudhuk yang kedua tidak sah, karena wudhuk yang pertama tidak batal.
b.     Jika yakin bahwa hadatsnya akan keluar lagi dalam waktu yang tidak cukup untuk wudhuk dan shalat, maka wudhuknya tidak batal. Akan tetapi jika melaksankan shalat, ternyata berhentinya itu lama (hingga cukup untuk wudhuk dan shalat tersebut), maka wudhuknya batal dan shalatnya tidak sah. Sehingga wajib mengulangi wudhuk dan shalatnya.
          Dapat disimpulkan, wudhuk yang dilakukan pada saat hadatsnya (darah atau kencing) keluar dihukumi batal dengan berhentinya hadats tersebut dalam waktu yang lama. Begitu juga sebaliknya. Wudhuk yang dilakukan pada saat putusnya hadats yang lama juga dihukumi batal dengan keluar hadats lagi.
Mustahadhah yang memiliki kebiasaan kadang-kadang darahnya bersih (yang lama) dan kadang-kadang keluar, maka wajib melaksanakan shalat dan wudhuk pada saat masa bersih. Kecuali bila kuatir kehabisan waktu shalat, maka wajib wudhuk dan shalat pada saat darahnya mengalir, tanpa menunggu masa bersih.
Mustahadhah yang jika melaksanakan shalat berdiri darahnya lebih deras dari pada saat duduk, maka harus shalat dengan duduk.
Wallahu A’lam...

 

PENUTUP

Demikian risalah singkat tentang haid, nifas dan istihadhah. Bagi anda yang hendak memperdalam masalah ini, silahkan membaca juga buku yang lain yang berjudul: Jika Mereka Bertanya Tentang Haid, Nifas dan Istihadhah, atau Darah Wanita dalam Perspektif Fiqih dan Ilmu Kedokteran, atau buku dengan judul; Shafwat al-Mabahits fi al-Dima’, buku yang berbahasa Arab.




[1] Jami’ artinya mencakup kepada semua yang didefinisikan. Mani’ artinya mencegah segala hal yang semestinya tidak masuk pada definisi tersebut. Misal, mendefinisikan buku dengan kertas yang berwarna putih. Ini tidak jami’, karena buku yang terbuat dari kertas kuning tidak masuk dalam definisi ini. Juga tidak mani’, karenn selembar kertas yang semestinya bukan buku, bisa disebut buku dengan definisi ini.
[2] Ila’ ialah suami yang bersumpah tidak menggauli istrinya selama 4 bulan.
[3] Shalat dengan hanya mengerjakan rukun-rukunnya saja, atau shalat qashar bagi musafir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar