Mudahnya
Mempelajari
H
A I D
Nifas,
dan Istihadhah
Buku ini
mencoba menjawab kesulitan-kesulitan
masalah
darah Haid, Nifas dan Istihadhah
dengan
kajian yang tidak hanya menggunakan literatur
madzhab Syafi’iyah
Ulama mengatakan:
“Orang awam, jika
pekerjaannya
mencocoki salah satu madzhab yang 4,
maka pekerjaannya sah,
walaupun tidak berniat mengikuti ikut madzhab
tersebut”
(dalam Tarsyikh, 134)
Oleh:
Nur Hasyim S. Anam
Ditulis Ulang Oleh:
Abdurrahman Khazin
Mukaddimah
Alhamdulillah, shalwat dan salam-Nya semoga tetap
tercurahkan keharibaan baginda Nabi besar Muhammad shalla allahu ‘alaihi wa
sallama.
Benar apa yang telah disampaikan oleh Imam Nawawi
dalam kitab Majmu’ Syarh Muhadzab, II/344, bahwa bab haid telah masuk pada
jajaran rangking teratas tingkat kerumitan dan kesulitannya.
Sedikitnya ada 3 kesulitan yang kami temui ketika
harus memberikan kursus di berbagai tempat. Pertama: sulitnya mencari
waktu luang untuk mengadakan kursus, yang dalam sekali kursus minimal 4-5 jam.
Sementara kebanyakan pesertanya adalah ibu-ibu yang memiliki kesibukan
berbeda-beda.
Kedua: jika waktu telah ditentukan,
maka dari waktu yang demikian melelahkan itu ‘sangat tidak mungkin’ peserta
dapat memahami dengan maksimal. Padahal kami hanya menjelaskan poin-poin
terpenting saja.
Ketiga: adalah ketika penjelsan yang
sedemikian rumitnya, ternyata banya yang ‘mustahil’ bisa diterapkan. Sehingga
sering secara guyonan kami mengatakan: “mungkin
ini tidak ada wanita yang snggup mengamalkan kecuali waliyullah”.
Maka mencoba menjawab kesulitan-kesulitan
tersebut dengan mengkajinya tidak hanya menggunakan literatur madzhab
Syafi’iyah. Jadilah buku “Mudahnya Mempelajari Haid,
Nifas dan Istihadhah” yang sedang anda baca ini.
Kita tidak perlu gamang untuk mengamalkan
pendapat madzhab lain selain Syafi’iyah. Mengingat maqolah ulama yang
mengatakan “orang awam, jika pekerjaannya mencocoki
salah satu madzhab yang 4, maka pekerjaannya sah, walaupun tidak berniat
mengikuti ikut madzhab tersebut” (baca Tarsyikh,
134). Dan dalam menyusun buku ini kami berusaha agar kita tidak terjebak talfiq
(mengamalkan pendapat beberapa madzhab yang bertentangan dalam satu tuntutan
hukum).
Satu yang jadi tujuan kami, bagaimana haid, nifas
dan istihadhah bisa dengan mudah dipahami oleh masyarakat yang segalanya ingin
serba instan (tanpa kursus), yang tentunya tetap sesuai aturan-aturan yang
telah disepakati oleh salaf al-shaleh.
Secara khusus kami membahas pula masalah
keputihan. Tentang bagaimana terjadinya pemahaman kontroversial kami, sehingga
mengatakan keputihan sebagai haid, (dalam bab haid).
1
HAID
A. Definisi Haid
Haid adalah darah yang keluar secara berkala
melalui vagina (bukan setelah melahirkan) pada usia subur (9 tahun lebih).
B. Hukum Mempelajari Haid
Setiap wanita wajib mempelajari haid dan hal-hal
yang terkait. Bahkan, sang suami tidak boleh melarang istrinya keluar rumah
untuk belajar hukum-hukum haid, kecuali bila dia sanggup mengajar sendiri
istrinya.
C. Usia Haid
Wanita dapat mengalami haid minimal pada usia 9
tahun kurang 15 hari dengan hitungan kalender hijriyah.
Wanita yang mengalami pendarahan beberapa hari
sebelum usia minimal haid, dan memanjang hingga memasuki usia minimal haid,
maka yang dihukumi haid hanya darah yang masuk usia haid. Misalnya jika
mengalami pendarahan 10 hari pada usia 9 tahun kurang 20 hari, maka 5 hari
pertama dari darahnya tidak dihukumi haid, dan 5 hari berikutnya dihukumi haid.
Para ulama berbeda pendapat mengenai masa
monopouse (batas akhir usia haid). Menurut Hambali usia monopouse ialah 50
tahun, demikian juga menurut sebagian ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah. Sementara
menurut Malikiyah 70 tahun.
Hanafiyah dan Syafi’iyah sepakat bahwa darah yang
terjadi pada usia monopouse dihukumi haid.
D. Masa Haid
Minimal haid adalah selama 24 jam jika
terus-menerus. Maksimalnya adalah 15 hari dan 15 malam (360 jam) walaupun
darahnya putus-putus, namun jika dijumlah darahnya mencapai 24 jam atau lebih.
Contoh: wanita pada tanggal 1 mengalami
pendarahan 2 jam dan bersih 72 jam (3 hari), kemudian mengalami pendarahan lagi
20 jam, lalu bersih 10 hari. Selanjutnya keluar darah lagi 2 jam, maka semuanya
dihukumi haid, karena jika dijumlah
tepat 24 jam dalam kurun waktu 15 hari.
Ulama berbeda pendapat mengenai masa bersih di
sela-sela haid. Ada yang menghukumi haid, ada yang menghukumi suci. Oleh karena
itu, wanita yang haidnya putus-putus, setiap setiap darahnya berhenti, maka
jika mengikuti pendapat yang menghukumi suci, wajib bersesuci dan shalat.
Semisal ada orang mengalami haid 2 hari, lalu
bersih. Dia mengira dirinya sudah suci, kemudian melaksanakan puasa. Selang 10
hari kemudian ternyata keluar darah lagi selama 2 hari, maka semua darahnya
dihukumi haid. Sedangkan puasa yang dia lakukan di masa bersih, jika mengikuti
pendapat Malikiyah dan sebagian Syafi’iyah, maka hukumnya sah.
Wanita yang kebiasaan haidnya 7 hari, lalu pada
suatu saat setelah mengalami pendarahan 2 hari, darahnya bersih. Maka dia boleh
menunggu (tidah shalat) hingga hari ke 7 (ikut pendapat sebagian Syafi’iyah)
dengan asumsi kemungkinan darahnya akan keluar lagi. Namun, jika ternyata
darahnya tidak keluar lagi, dia harus mengqado shalatnya.
Wanita yang mengalami haid dapat mengetahui bahwa
darahnya bersih dengan cara memasukkan segumpal kapas ke dalam vaginanya. Jika
pada kapas tersebut ada bercak (sekalipun hanya cairan keruh) berarti belum
bersih/belum mampat. Meskipun cairan tersebut tidak sampai mengalir keluar pada
vaginanya bagian luar (bagian yang tampak ketika sedang jongkok buang air).
Banyak mereka yang salah paham dan menganggap
cairan keruh adalah keputihan, bukan haid. Padahal kenyataannya 4 madzhab
sepakat yang sedemikian itu disebut haid. Kesalahpahaman ini berakibat fatal.
Contoh: sebagian besar wanita mengalami
pendarahan haid seperti ini. Pada mulanya keluar cairan keruh keputihan, dan
itu berlangsung hingga 2 hari (misalnya), lalu keluar merah 4 hari. Kemudian
keluar cairan keruh lagi selama 2 hari, maka haidnya 8 hari. Sementara sebagian
besar wanita mengira bahwa yang dihukumi haid hanya darah merah (yang 4 hari)
saja. Sedangkan yang keruh dihukumi suci. Jadi pada saat merahnya berganti
keruh, dia pun mandi. Kenyataannya dia masih dalam keadaan haid. Maka mandinya
tidak sah. Kelak ketika cairan keruh sesungguhnya haid itu bersih, dia tidak
mungkin mengulangi mandinya lagi. Dan shalat yang dilakukannya pun tidak pernah
sah, maka jadilah dia dihukumi tidak pernah shalat.
Wanita yang mengeluarkan darahnya putus-putus
selama 15 hari 15 malam, tetapi setelah dijumlahkan masa keluarnya tidak sampai
24 jam, tidak dihukumi haid. Namun, menurut madzhab Maliki dihukumi haid, sebab
menurut Malikiyah minimal haid itu hanya sebentar (setetes).
Setiap wanita yang sedang haid wajib melihat
keadaan darahnya setiap menjelang akhir waktu shalat. Jika darahnya bersih,
maka dia wajib melaksanakan shalat tersebut menurut madzhab Maliki, walaupun
kelak darahnya keluar lagi. Demikian menurut sebagian ulama Syafi’iyah yang
menyatakan bahwa masa bersih di sela-sela haid dihukumi suci.
Wanita hamil yang mengalami pendarahan, menurut
madzhab Syafi’i dan Maliki disebut haid. Namun, menurut Hanafi dan Hambali
bukan haid.
E. Masa Suci
Minimal suci yang memisahkan antara 2 haid adalah
15 hari 15 malam (360 jam), dan maksimalnya tidak terbatas.
Madzhab Syafi’i dan Hambali memperbolehkan minum
obat untuk mencegah haid. Jika setelah minum obat ternyata haidnya berkurang
atau melebihi kebiasaannya, atau bahkan warna darahnya berubah dari yang
semestinya (merah misalnya), ternyata setelah minum obat yang keluar hanya
berupa cairan keruh berhari-hari, itu semua jika sesuai dengan ketentuan haid
(antara 1 sampai dengan 15 hari), maka tetap dihukumi haid. Menurut madzhab
Maliki darah yang keluar karena obat tidak dihukumi haid.
Kesimpulannya, haid tidak harus terjadi dalam
setiap bulan. Begitu juga sebaliknya. Dalam 1 bulan mungkin terjadi 2 haid.
Sebagai contoh, hari pertama haid, suci 20 hari, lalu haid lagi. Kedua-duanya
dinamakan haid. Karena memenuhi kreteria haid, yaitu minimal 24 jam dan
kreteria masa suci, yaitu minimal 15 hari.
F. Keputihan
Keputihan adalah penyakit yang diderita kaum
Hawa. Ini ditandai dengan keluarnya cairan pada daerah kelamin. Penyebabnya
bermacam-macam. Ada yang desebabkan jamur, inveksi kelamin, tumor pada ovarium,
dinding rahim, kanker dan sebagainya. Oleh karena itu, dianjurkan jika menemui
gejala ketidak teraturan haid, secepatnya memeriksakan diri ke dokter.
Warna cairan keputihan bermacam-macam. Dari yang
berupa cairan kental bening, keruh, putih, sampai yang kekuning-kuningan. Tak jarang
terasa gatal sehingga mengakibatkan timbulnya peradangan dan luka.
Banyak orang menghukumi keputihan bukan sebagai
haid. Dengan alasan bahwa keputihan itu penyakit. Mengingat definisi haid yang
menyatakan bahwa haid adalah darah yang secara tabi’at (bukan karena
penyakit) keluar dari rahim dan seterusnya.
Untuk
darah keputihan yang berwarna bening atau berasal dari vagina, kami sependapat
dengan ini. Tapi, jika keputihan secara umum dihukumi bukan haid, kami kurang
sependapat, karena sebagaimana kita ketahui bahwa, ada keputihan yang berasal
dari rahim. Sementara kami masih mempertanyakan, apakah definisi haid di atas
sudah jami’ mani’[1].
Sebab semisal wanita yang mengalami pendarahan terus-menerus (karena penyakit),
jika mengacu pada definisi haid, tentu semuanya tidak dihukumi haid.
Kenyataannya ada beberapa hari yang dihukumi haid. Lalu apa yang membedakan
antara darah yang dihukumi haid dengan darah istihadhah dalam kasus ini? Dan di
sini kami menganggap bahwa definisi haid seperti di atas belum jami’ mani’.
Lalu jika definisi haid seperti di atas dinyatakan tidak jami’ mani’,
tentunya tidak dapat dipakai sebagai dalil bahwa keputihan itu bukan haid.
Sehubungan dengan apa yang disampaikan oleh Imam Syafi’i, bahwa:
الصفرة و الكدرة في أيام الحيض حيض (المهذب)
Cairan kuning atau keruh (putih)
yang tidak kurang dari 24 jam dan tidak lebih 15 hari disebut haid.
Pertnyaannya
adalah: apakah menghukumi darah keputihan sebagai bukan haid tidak bertentangan
dengan penyampaian Imam Syafi’i di atas?
Atau
jika definisi seperti di atas dinyatakan telah jami’ mani’, maka timbul
pertanyaan baru, apakah diagnosa dokter yang menyatakan bahwa cairan yang
keluar melalui vagina itu menrupakan penyakit, bisa dijadikan rujukan bahwa
cairan tersebut bukan haid? Sementara ini kami belum menemukan jawabannya
(semoga pembaca bisa membantu).
Lain
dari itu, beberapa buku yang menyatakan keputihan sebagai bukan haid, tidak
lebih hanya berpijak pada dalil tentang lendir vagina (bening mirip madzi) yang
sudah jelas sama sekali berbeda dengan darah keputihan.
Dari
pemikiran ini, maka kami cenderung menghukumi keputihan (selain yang bening)
sebagai haid. Kecuali jika dipastikan bahwa, cairan tersebut keluar (berasal)
dari vagina, bukan dari rahim.
G. Mustahadhah dalam Madzhab Maliki
Wanita yang mengalami pendarahan haid lebih dari
15 hari 15 malam disebut mustahadhah.
Ketentuan
hukumnya sebagai berikut;
1. Bila
sebelumnya belum pernah mengalami haid, maka yang dihukumi haid hanya sampai
dengan 15 hari 15 malam.
2. Bila sudah pernah haid, maka haidnya hanya sebatas
kebiasaan haidnya yang terbanyak.
Selebihnya dihukumi suci sampai
sembuh, kecuali darahnya mengalami perubahan warna atau baunya yang bisa
menjadi pembeda dengan istihadhahnya (keruh dan kuning), maka dihukumi haid
yang lain dengan syarat sudah dipisah minimal masa suci dengan haid sebelumnya.
Misalnya wanita yang memiliki
kebiasaan haid 5 hari, lalu 2 hari, setelah itu 3 hari, kemudian 8 hari dan
yang terakhir 4 hari. Berikutnya dia mengalami pendarahan 40 hari merah,
kemudian 5 hari hitam, dilanjut dengan merah 20 hari. Maka haid yang 8 hari
pertama dihukumi haid (sesuai dengan kebiasaanya yang terbanyak). Demikian
jugan dengan darah hitam yang 5 hari, dihukumi haid yang lain, karena telah
dipisah dengan darah yang 8 hari dengan minimal masa suci, selain itu dihukum
suci.
Bagaimana jika darah yang
mengalami perubahan (warna atau baunya) itu melebihi dari kebiasaan haidnya
yang terbanyak? Maka yang dihukumi haid hanya sebatas kebiasaannya yang
terbanyak.
Jadi, misalnya pada contoh di
atas dia mengalami pendarahan 50 hari merah, lalu 9 hari hitam, kemudian merah
lagi, 8 hari yang pertama dihukumi haid. Sedangkan pada saat 9 hari hitam
tersebut yamg dihukumi haid hanya 8 hari sesuai dengan kebiasaan haidnya yang
terbanyak.
Wanita yang mengalami pendarahan
haid 9 hari, lalu bersih 6 hari, kemudian mengalami pendarahan lagi 12 hari,
maka semua darahnya dihukumi haid, jika mengikuti sebagian Malikiyah yang
mengatakan minimal masa suci antra 2 kali haid adalah 5 hari.
2
NIFAS
A. Definisi Nifas
Nifas
adalah darah yang keluar setelah melahirkan, meskipun yang dilahirkan hanya
berupa ‘alaqoh (gumpalan darah) atau mudghah (gumpalan daging).
Atau yang dikenal dengan keguguran. Walaupun plasentanya (ari-ari, jw) masih
tertinggal di dalam rahim.
B. Masa Nifas
Waktu
nifas minimal 1 tetes atas sebentar. Maksimalnya 60 hari 60 malam, terhitung
dari sejak keluarnya seluruh tubuh janin atau gumpalan daging.
Hitungan
nifas dimulai sejak usia melahirkan, bukan sejak keluarnya darah. Tetapi yang
dihukumi nifas sejak keluarnya darah. Jadi wanita yang melahirkan tanggal 1
tanpa pendarahan, kemudian tanggal 10 baru keluar darah, maka hitungan 60 hari
60 malam dihitung sejak tanggal 1. Sedangkan nifasnya dihitung mulai tanggal
10. Jadi, antara tanggal 1 sampai dengan tanggal 9 dihulkumi suci, dan tetap
wajib melaksanakan shalat.
Jika
jarak antara selesai melahirkan dengan keluarnya darah itu mencapai 15 hari 15
malam (360 jam), maka darah tersebut tidak dihukumi nifas, melainkan darah
haid.
Wanita
yang mengalami pendarahan putus-putus sebelum 60 hari 60 malam setelah
melahirkan, maka semua darahnya dihukumi nifas. Asalkan masa putusnya tidak
sampai 15 hari 15 malam. Sedangkan masa bersih di sela-sela nifas hukumnya sama
dengan masa bersih di sela-sela haid. Ada yang menghukumi suci, ada yang
menghukumi nifas.
Namun, jika jarak putusnya
mencapai 15 hari 15 malam, maka darah setelahnya dihukumi haid. Sedangkan masa
bersihnya dihukumi suci.
Pendarahan yang menyertai
kelahiran atau pendarahan karena kelahiran, namun terjadi sebelum bayi keluar
dari rahim tidak dihukumi nifas, atau pun haid. Namun jika menurut madzhab
Hambali nifas jika terjadi maksimal 3 hari sebelum melahirkan.
C. Masa Suci
Masa
suci yang memisahkan haid dengan nifas atau nifas dengan nifas tidak harus 15
hari 15 malam (360 jam). Mungkin kurang dari 15 hari 15 malam (360 jam), atau
bahkan tidak ada masa suci sama sekali. Dengan kata lain, tidak sama dengan
masa suci antara 2 haid.
Beberapa contoh:
Contoh 1: seorang ibu melahirkan
bayi kembar, antara kelahiran yang pertama dengan kelahiran yang kedua dia
mengalami pendaran. Maka pendarahan setelah kelahiran yang pertama dihukumi
nifas, lalu setelah kelahiran yang kedua juga dihukumi nifas yang lain. Dalam
contoh ini, tidak terdapat masa suci yang memisahkan di antara 2 nifas.
Contoh 2: wanita hamil mengalami
haid dan tidak putus hingga melahirkan. Kemudian mengalami pendarahan selama 10
hari. Dalam contoh ke 2 ini, darah yang keluar sebelum melahirkan dihukumi
haid. Darah yang setelah melahirkan dihukumi nifas. Haid dan nifasnya tidak
dipisah oleh masa suci.
Contoh 3: wanita yang mengalami
nifas dan telah genap 60 hari. Darahnya mampet sebentar, lalu mengeluarkan darah
lagi selam 2 hari. Di sini, darah yang keluar setelah bersih disebut haid.
Sedangkan bersihnya darah disebut suci. Artinya, masa suci yang terjadi antara
nifas dan haid hanya sebentar.
Catatan penting!
‘Alaqah (gumpalan
darah) yang keluar dari rahim wanita memiliki 3 konsekwensi hukum, yaitu:
1.
Darah yang keluar
setelahnya dihukumi nifas,
2.
Wajib mandi, dan
3.
Membatalkan puasa.
Untuk gumpalan daging (mudghah),
di samping memiliki 3 hukum di atas juga memiliki aspek hukum yang lain, yakni
berakhirnya masa iddah.
D. Mustahadhah dalam madzhab Maliki
Wanita
yang mengalami pendarahan nifas lebih 60 hari 60 malam, maka yang dihukumi
nifas hanya 60 hari 60 malam, selebihnya dihukumi suci.
3
BEBERAPA ASPEK HUKUM
BAGI YANG BERHADATS
A. Haram Bagi Hadats
Kecil
Hal-hal
yang diharamkan bagi yang berhadats kecil adalah:
1.
Shalat dan sejenisnya.
Seperti sujud tilawah dan sujud syukur.
2.
Menyentuh mushhaf
(al-Quran). Sesuatu bertuliskan ayat suci al-Quran untuk dikaji atau dibaca,
menurut quol ashah (perkataan ulama yang paling soheh) sama dengan mushhaf.
Madzhab Maliki memperbolehkan orang haid atau nifas menyentuh mushhaf
untuk belajar atau mengajar.
3.
Membawa mushhaf.
Boleh membawa mushhaf yang disertai benda lain (termasuk mushhaf yang
dijadikan satu dengan kitab-kitab yang lain dalam satu jilid) dengan niat tidak
hanya membawa mushhaf. Boleh juga membawa tafsir al-Quran (termasuk
al-Quran terjemah) yang lebih banyak tafsirnya dari pada al-Qurannya. Madzhab
Maliki memperbolehkan orang haid atau nifas membawa mushhaf untuk
belajar dan mengajar.
4.
Thowaf di Baitullah.
B. Haram untuk Hadats Besar
Hal-hal
yang diharamkan bagi yang berhadats besar adalah:
1. Semua
yang diharamkan bagi yang berhadats kecil.
2. Membaca
al-Quran dengan niat memabaca al-Quran. Boleh memabaca al-Quran sampai hatam
dengan niat dzikir menurut pendapat yang kuat dari kalangan Syafi’iya. (baca Hasyiah
al-Jamma, 1/157.berpuasa.
3. Berpuasa.
4. Berdiam
di Masjid, meskipun hanya sebentar.
Masuk dan keluar
masjid dari satu pintu, sama dengan diam. Demikian juga berputar-putar di masjid.
Madzhab Hambali memperbolehkan orang haid diam di masjid bila yakin darahnya
tidak mengotori masjid. Dengan syarat berwudhu.
C. Haram Bagi Haid
Hal-hal yang diharamkan bagi yang haid
ialah:
1.
Semua yang diharamkan
bagi yang berhadast besar.
2.
Masuk atau berjalan di
masjid, bila khawatir darahnya menetes.
3.
Bersuci dari hadas. Baik
hadas besar, maupun hadas kecil.
4.
Bercumbu rayu bersama
suami dengan bersentuhan kulit yang terdapat antara pusar dan lutut si istri.
Namun an-Nawawi memilih pendapat yang memperbolehkannya selain bersetubuh.
5.
Jima’ (berstubuh).
6.
Ditalak atau di ceraikan.
Ini haram bagi suami.
Haram
melakukan hal-hal tersebut, meskipun haidnya sudah berakhir, bila belum bersuci
(mandi atau tayamum). Kecuali berpuasa, talak, wudluk atau tayammum, dan lewat
di masjid, maka tidak perlu mandi terlebih dahulu. Demikian juga jima’
menurut sebagian ulama.
Mentalak
atau menjimak istri dalam keadaan haid termasuk dosa besar. Adalah kufur, bagi
yang menghalalkan bersetubuh pada saat mana disepakati ulama sebagai darah
haid.
D. Sunah
Wanita
yang telah bersih dari haid, setelah bersuci, sangat disunahkan memberi
wewangian pada vaginanya bagian luar. Yang dimaksud vagina bagian luar adalah
vagina yang tampakketika sedang jongkok buang air.
Sunnah
memberi wewangian ini kalau ia tidak berpuasa atau sedang ihram. Sebab orang
yang berpuasa itu makruh memakai wewangian. Sedang orang ihram haram memakai
wewangian.
Banyak
wanita bertanya, “Bagai mana hukumnya pada saat haid
bersisir sehingga rambutnya rontok?”
Penjelasannya sebagai berikut.:
Imam
Ghazali dalam kitab ihya’nya menganjurkan kepada mereka yang sedang berhadast
besar (junub, haid, nifas dan sebagainya). untuk tidak memotong bagian dari
tubuhnya (kuku, rambut, dan sebagainya) sampai dia mensucikan diri. Karena
segala anggota tubuh yang terlepas tersebut kelak pada hari kiamat akan kembali
dalam keadaan berhadast (kotor). Akan tetapi hal ini masih dipertanyakan
mengingat anggota tubuh yang kembali lagi kelak di hari kiamat itu adalah
anggota tubuh yang ada ketika ia meninggal. Jadi bukan angota tubuh yang
terlepas di kala hidupnya. (baca hasyiyat al-Bujarami ala al-Khatib,1/218).
Dan
kami berpendapat bahwa, konsekwensi dari apa yang telah dikemukakan oleh
al-Ghazali di atas itu,paling tinggi adalah sunnah disamping dalilnya masih
dipertanyakan. Sedangkan wanita mengembirakan suami hukumnya wajib dungan dalil
yang sangat jelas. Pertanyaannya adalah, “Apakah suami
akan gembira bila melihat istrinya awut-awutan tidak bersisir?”
tentu jawabannya tidak gembira. Oleh karena itu bersisir hukumnya wajib.
Bayak
wanita menyimpan rambutnya yang rontok di kala haid. Dengan harapan akan di
mandikan saat ia suci. Padahal yang
sedemikian itu tidak ada dalilnya dan membasuh (memandikan) rambut yang sudah
rontok sama sekali tak ada gunanya. Yang mereka lakukan hanya ikut-ikutan orang
bodoh.
E. Perbedaan Hukum antara Haid dengan Nifas
Semua
hukum yang berlaku pada haid, juga berlaku pada nifas. Kecuali dalam 4 hal:
1.
Baligh. Nifas tanda baligh.
Karena baligh diketahui dengan kehamilan yang terjadi sebelumnya.
2.
Iddah. Nifas tidak
menjadi ukuran masa iddah.
4.
Nifas dapat memutus berturut-turutnya
puasa kaffarat menurut salah satu dari dari dua pendapat.
Selain
empat hal ini, antara haid dan nifas sama dalam segala aspek hukum.
F. Mandi
Sebgai
mana telah dijelaskan di muka, bahwa dalam haid atau nifas dilarang mandi
hadast, ataupun wudlu. Bukankah wanita yang melahirkan wajib mandi wiladah?
Kapan hal itu dilaksanakan ? mandi wiladah tidak boleh dilaksanakan dalam
keadaan nifas. Mandi wiladah dilaksankan bersamaan dengan mandi nifasnya.
Permasalahan
ini sama dengan orang yang dalam keadaan hamil bersetubuh dengan suaminya. Dan
belum sempat mandi dia haid, dan darahnya tidak bersih hingga melahirkan.
Dilanjutkan dengan nifas. Maka untuk mensucikan diri dia cukup mandi 1 kali
dengan niat menghilangkan hadats besar.
Dalam mandi hadats wajib
meratakan air ke seluruh anggota tubuh luarnya, termasuk hal-hal yang kelihatan
pada waktu buang air.
4
HUKUM SHALATNYA
A. Hukumnya
Wanita
yang sedang haid atau nifas tidak terkena hukum wajibnya shalat dan makruh
meng-qodha-nya (menggantinya).
B. Datangnya penghalang
Jika
seseorang kedatangan penghalang (haid misalnya) setelah masuk waktu shalat,
padahal belum melaksanakan shalat tersebut, maka apabila waktu shalat tersebut
masih cukup untuk melaksanakan shalat yang seringan mungkin[3], dia
wajib meng-qadha’ shalat yang difardhuhkan pada waktu itu saja. Akan
tetapi, jika tidak cukup untuk shalat yang seringan mungkin, dia tidak wajib
meng-qadha’ shalatnya.
Misalnya, seorang wanita yang
begitu masuk shalat dhuhur langsung shalat. Dan dia memanjangkan shalatnya.
Ternyata pada saat tasyahud akhir (sebelum salam), dia mengalami pendarahan
haid. Maka jika sudah suci, wajib menh-qodha’ shalat dhuhur tersebut.
Sebab seandainya shalat tersebut dilaksanakannya dengan hanya mengerjakan
rukunnya saja, niscaya dia dapat menyelesaikan shalat tersebut.
Menurut Malikiyah dan Hanafiyah,
wanita yang mendapati “halangan”
di akhir waktu shalatnya tidak berkewajiban untuk melaksanakan shalat tersebut.
C. Berakhirnya penghalang
Seseorang
yang penghalangnya berakhir di pertengahan waktu shalat, jika masih ada waktu
yang cukup untuk takbirotul ihrom, maka wajib mengerjakan shalat pada
waktu itu saja. Namun, jika shalat sebelumnya bisa dijama’, maka kedua shalat
tersebut wajib dikerjakan.
5
DI’IMU AL-HADATS
Wanita
yang mengalami pendarahan selain darah haid dan nifas, darah tersebut dihukumi
darah istihadhah.
Darah istihadhah sama dengan air
kencing biasa. Orang yang mengalaminya, dalam segala aspek hukum, sama dengan
orang yang mengalami selalu kencing (beser). Orang ini disebut da’imu al-hadats
(orang yang selalu berhadats), sehingga tetap shalat dan puasa. Bahkan boleh
disesutuhi, meskipun darahnya sedang mengalir.
Da’imu
al-hadats yang hendak shalat fardhuh, wudhuknya wajib dilaksanakan setelah
masuknya waktu shalat. Setiap akan bersuci (wudhuk atau tayammum), wajib
membersihkan kemaluannya dengan air atau istinja’ dengan benda padat dan
sebagainya. Lalu menyumbat lubang kemaluannya dengan sejenis kapas yang suci.
Jika setelah disumbat hadatsnya
(darah atau kencing) masih menembus keluar, dia wajib memakai pembalut dan
bercelana dalam yang kuat. Untuk pria, hal ini dilakukan dengan cara membalut
kepala penisnya, lalu mengikatnya.
Semua ini dilakukan jika memang:
a.
Tidak membahayakan diri,
misalnya; menimbulkan rasa sakit atau panas dengan terhentinya aliran darah.
Jika hal ini dirasa membahayakan atau menyakitkan, maka boleh tidak melakukan
penyumbatan atau pembalutan.
b.
Tidak berpuasa. Bagi
mereka yang berpuasa, tidak boleh melakukan penyumbatan, karena membatalkan
puasa.
Jika hadatsnya masih merembes
keluar karena darah atau kencingnya sangat kuat (bukan karena kurang kuat
membalut), tidak menjadi masalah. Artinyanya, shalat sah, karena wudhuknya
tidak batal. Berbeda halnya jika hadatsnya tersebut merembes karena kurang kuat
dalam membalut.
Ketika menyumbat tidak boleh ada
kain atau kapas penyumbat yang keluar, atau berada pada vagina atau penis
bagian luar. Meskipun sedikit, karena jika ada penyumbat yang keluar ke vagina
atau penis luar (walaupun sehelai benang), maka shalatnya tidak sah. Karena
dianggap membawa barang najis. Yang dimaksud vagina bagian luar adalah, daerah
yang tampak ketiaka jongkok buang air.
Semua hal di atas (membasuh
kelamin, menyumbat sampai dengan shalat) harus dilaksanakan setelah masuknya
waktu shalat dan tidak boleh lamban. Jika setelah wudhuk dia tidak langsung
shalat, maka wudhuknya batal. Kecuali kelambanannya tersebut untuk kemaslahatan
shalat, misalnya; untuk menup aurat, menunggu azan atau iqomah, mencari arah
kiblat atau menunggu jamaah.
Perlu diketahui bahwa, wudhuk
bagi orang yang selalu hadats (termasuk mustahadhah) hukumnya sama dengan orang
yang bertayammum. Dalam artian, niat wudhuknya sama dengan niat tayammum, tidak
boleh wudhuk sebagaimana biasanya.
Contoh niat bagi mustahadhah
adalah;
a.
Niat wudhuk agar
diperbolehkan shalat ashar,
b.
Niat wudhuk agar
diperbolehkan membaca al-Quran atau lainnya.
Satu
kali wudhuk yang diniatkan untuk shalat fardhuh hanya dapat dipakai untuk satu
kali shalat fardhuh dan beberapa shalat atau ibadah sunnah, sampai dengan
keluarnya waktu shalat. Jadi, misalkan wudhuknya untuk shalat dhuhur, maka
setelah melakukan shalat dhuhur dia boleh melaksanakan ibadah-ibadah sunah yang
lain (tanpa mengulangi wudhuk) sampai keluarnya waktu shalat dhuhur. Setelah
itu, wudhuknya dianggap batal.
Di’amu
al-hadats yang setelah whuduk hadatsnya (darah atau kencing) berhenti beberapa
saat, maka berlaku ketentuan sebagai berikut:
a.
Jika tidak tau kapan
hadatsnya keluar lagi atau tau bahwa hadatsnya akan keluar lagi dalam waktu
yang lama (cukup untuk wudhuk dan shalat yang seringan mungkin), maka wajib
mengulangi wudhuknya. Dengan catatan, jika hadatsnya keluar kembali dalam waktu
yang tidak cukup untuk wudhuk dan shalat, maka wudhuk yang kedua tidak sah,
karena wudhuk yang pertama tidak batal.
b.
Jika yakin bahwa
hadatsnya akan keluar lagi dalam waktu yang tidak cukup untuk wudhuk dan
shalat, maka wudhuknya tidak batal. Akan tetapi jika melaksankan shalat,
ternyata berhentinya itu lama (hingga cukup untuk wudhuk dan shalat tersebut),
maka wudhuknya batal dan shalatnya tidak sah. Sehingga wajib mengulangi wudhuk
dan shalatnya.
Dapat
disimpulkan, wudhuk yang dilakukan pada saat hadatsnya (darah atau kencing)
keluar dihukumi batal dengan berhentinya hadats tersebut dalam waktu yang lama.
Begitu juga sebaliknya. Wudhuk yang dilakukan pada saat putusnya hadats yang
lama juga dihukumi batal dengan keluar hadats lagi.
Mustahadhah yang memiliki
kebiasaan kadang-kadang darahnya bersih (yang lama) dan kadang-kadang keluar,
maka wajib melaksanakan shalat dan wudhuk pada saat masa bersih. Kecuali bila
kuatir kehabisan waktu shalat, maka wajib wudhuk dan shalat pada saat darahnya
mengalir, tanpa menunggu masa bersih.
Mustahadhah yang jika
melaksanakan shalat berdiri darahnya lebih deras dari pada saat duduk, maka
harus shalat dengan duduk.
Wallahu A’lam...
PENUTUP
Demikian risalah singkat
tentang haid, nifas dan istihadhah. Bagi anda yang hendak memperdalam masalah
ini, silahkan membaca juga buku yang lain yang berjudul: “Jika
Mereka Bertanya Tentang Haid, Nifas dan Istihadhah”,
atau “Darah Wanita dalam Perspektif Fiqih dan Ilmu
Kedokteran”, atau buku dengan judul; “Shafwat al-Mabahits fi al-Dima’”,
buku yang berbahasa Arab.
[1] Jami’
artinya mencakup kepada semua yang didefinisikan. Mani’ artinya mencegah
segala hal yang semestinya tidak masuk pada definisi tersebut. Misal,
mendefinisikan buku dengan kertas yang berwarna putih. Ini tidak jami’,
karena buku yang terbuat dari kertas kuning tidak masuk dalam definisi ini.
Juga tidak mani’, karenn selembar kertas yang semestinya bukan buku,
bisa disebut buku dengan definisi ini.
[2]
Ila’ ialah suami yang bersumpah tidak menggauli istrinya selama 4 bulan.
[3]
Shalat dengan hanya mengerjakan rukun-rukunnya saja, atau shalat qashar bagi
musafir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar