Antologi Puisi
Abdurrahman Khazin (1)
PENUH JUANG
Jalan bebatuan menusuk-nusuk kaki
Aspal tua
semakin dicaci
Bukan tanpa
usaha untuk diperbaiki
Namun, belum
bisa disaji
Rumput liar
berhijauan menari-nari
Menyambut
sekelompok orang penuh bakti.
Kehidupan yang
berbeda
Jauh dari kota
turun ke desa
Bersosialisasi
kerahkan usaha
Dengan rakyat
desa nan jelita
Bukan karena
gila dengan semuanya
Namun semata
memburu data.
Demi tugas
mulia,
Hari-hari
kulalui
Penuh duri
menghantui
Di bawah langit
kelabu
Awan pun seakan
membeku
Kehidupan
masyarakat berjalan dengan takdirnya
Kuberbaur
menelusuri kehidupannya
Mencoba menyatu
dengan alamnya
Alam pun
menyambutku dengan seksama
Sambutan yang
penuh makna.
Anak-anak kecil
tanpa dosa
Pewaris tahta
desa
Bermain
mengitari relung-relung senja
Kucoba cumbu
mereka
Agar pandai
merangkai kata
Tanpa kata
mereka berlomaba-lomba
Mengitari
segudang aksara.
Demi tugas
mulia,
Datang dari
kejauhan sana
Ke tempat juang
penuh warna
Berjuang tanpa
kenal lelah dan dahaga
Sampai waktu
penentuan tiba.
Madiun,
21/1/2014
DIA, PUJAANKU
Perasaan berkecamuk dalam hati
Menari-nari
penuh arti
Hari-hari
kulalui
Perasaan
hati yang menghantui
Pada
orang yang kucintai.
Sri
Wardah, nama yang indah
Seindah
cintaku di kemudian hari
Kan
melekat di hati.
Dia
mengundang nafsu
Sebelum
kurayu.
Di
kemudian hari,
Ku
memberanikan diri
Lontarkan
kata-kata penarik hati
“Ku,
mencintaimu”
Pujaanku,
selamanya.
Surabaya,
25/2/2014
MASA
Demi masa,
Manusia dalam
kerugian
Mereka yang
lupa akan sejarah
Sejarah
kehidupan Sang Pencerah
Berjuang di
Makkah dan Madinah
Tanamkan
hikmah.
Demi masa,
Manusia dalam
kerugian
Mereka yang
lupa akan saudaranya
Sesama dan
seagama
Terapkan
asosila
Matikan
sosialnya.
Masa ke masa,
Manusia dicipta
berbangsa-bangsa
Agar saling
mengenal nan sapa
Bukan bercerai
tanpa sapa
Masa silam,
Pengetahuan
kelam
Tanpa cahaya
nan suram
Patut saling
perang.
Sekarang,
Pengetahuan
terang
Ironi adanya
perang.
Tapi, manusia
lupakan hakikat penciptaan
Perang
disematkan,
Badai
ditimpakan,
Perut bumi
digoncangkan,
Gunung pun
memuntahkan,
Itulah, ulah
mereka mematikan.
Kecuali,
kecuali mereka peduli sesama, bangsa dan negara
Mereka yang
taat beragama.
Surabaya,
25/2/2014
SUNYIKU
Jarum jam menari-nari di dinding
kamarku
Berbunyi
menampar telinyaku
Membangunkan
badan kakuku
Namun, sukmaku
masih melayang-layang di sampingku.
Di susul deruan
alarm
Mataku masih merem
Deruan itu
makin keras
Sukmaku balik
sampai teras
Ke badanku
merasuk terus.
Di kesunyian
hari,
Jarum jam
berlarian tanpa henti
Menunjukkan
angka tiga dini hari
Badanku tegak
memaksakan diri
Wudhuk
mensucikan diri
Tahajjud
memasrahkan diri
Kepada Tuhan
Ilahi Robbi.
Sunyiku makin
lama merangkak
Kakiku di atas
sajadah membengkak
Putaran tasbih
kepada Tuhan serentak.
Sunyiku makin
berlalu
Berganti fajar
tanda shubuh selalu
Begitulah
perjalanan sunyiku.
Surabaya,
26/2/14
TEGAK BERDIRI
Dari kecil tak tau apa-apa
Belajar
tak kenal aba-aba
Mulai
merangkak penuh upaya
Berdiri
di dinding-dinding, beranda-beranda
Kemudian,
berjalan dan berlari ria
Tak
jemu tak kenal lelah, yakin sampai bisa
Begitulah
manusia.
Waktu
berlalu sampai saatnya tumbuh dewasa
Belajar
menupang diri
Di
atas sendiri
Belajar
lagi hidup mandiri
Tegak
berdiri
Bawa
beban berat sendiri.
Waktu
semakin berlalu
Belajar
pun semakin semarak dilalu.
Manusia
sebagai khalifah
Hidup
bukan hanya pasrah
Kewajiban
berdoa dan berusaha
Tak
kenal lelah dalam semua
Terus
semangat mengucurkan keringat.
Terus
tegak dalam goncangan ombak yang galak
Berdiri
di atas diri sendiri
Harus
tegak berdiri dalam semua.
Surabaya,
2/3/’14
DOA
Ke dunia manusia dilahirkan
Di dunia mereka
mengadu nasip
Di dunia mereka
tinggal hidup
Bahkan, di
dunia pula mereka menentukan pilihan hidup
Mau hidup
tentram, damai, mau hidup melarat, sengsara mereka menentukan.
Semua itu
ditentukan usaha dan doa
Ya, dengan
usaha dan doa
Usaha tanpa
doa, sombong
Doa tanpa
usaha, bohong
Keinginan tanpa
usaha dan doa, sia-sia.
Harusnya selalu
usaha dan doa
Berusahalah...
Berdoalah...
Sampai waktu
menjawabnya.
Surabaya,
3/3/’14
MABUK CINTA
Sempat ku mabuk
kepayang
Cintaku melayang
Menjemputmu sayang
Tuk temaniku di negeri orang.
Pagi ini, ayamku berkokok keras sekali
Seperti memaki, bangunkan ku dari mimpi
Hari ini, pujaan hatiku telah kembali
Melelehkan hatiku yang selama ini mati suri.
Hari ini ku bahagia,
Hari istimewa,
Karena kau menemaniku kembali
Ku bahagia sekali.
Langit hangat mentari,
Semua jelas ku rasa asik sekali.
Rasa rindu, rasa sepi,
Semua menghilang jauh sekali.
Ku bahagia denganmu kembali.
Surabaya,
7/3/’14
PASRAH
Ku pasrahkan kepadamu Tuhan
Diri ini, dan
semua apa yang telah ku lakukan
Hanya kepada-Mu
Tuhan.
Ku lakukan apa
yang diperintahkan sekuat tenagaku
Ku jauhi apa
yang dilarang sekuat tenagaku
Tak peduli
rintangan yang menghantu,
Karena aku
percaya kepada-Mu,
Semua yang aku
lakukan untuk-Mu kembali padaku
Semua itu efek
belas kasih-Mu
Tuhan,
Diri yang hina
ini,
Diri yang
berlumuran dosa ini,
Diri yang
segudang kekurangan dan kelemahan ini,
Bersujud
pada-Mu
Pasrah pada-Mu
Remuk di
hadapan-Mu
Ber-istighfar
pada-Mu
Berharap
ampunan-Mu
Segala
dosa-dosaku,
Yang sekarang,
esok dan yang lalu-lalu.
Tuhan,
Hanya kepada-Mu
ku menyembah
Hanya kepada-Mu
ku mohon pertolongan
Hanya kepada-Mu
ku mohon petunjuk
Hanya kepada-Mu
ku mohon perlindungan
Dari makhluk
terlaknat sampai kiamat
Dan hanya
kepada-Mu Tuhan ku mohon syafaat
Melalui
Muhammad pengayom umat.
Tuhan,
Kini, diri ini,
ku hibah-kan kepada-Mu
Ku pasrah bila
sampai waktuku
Nyawaku...
Nyawaku
diangkat ke-‘arasy-Mu
Hanya kepada-Mu
Allah, Tuhanku
Ku berserah,
Pasrah...
Surabaya,
8/3/’14
MERANTAU
(I)
Hidup seorang
pencari,
Segala sesuatu
yang diridhai Tuhan sang Ilahi.
Ke sana, ke
mari, berlari-lari sambil mendaki,
Tembok
penghalang diri kepada-Mu Robbi.
Hakikat hidup
yang kucari,
Kebahagiaan dunia-ukhrowi.
Tuhan, maha
menghendaki, maha memberi,
“Limpahkan
rahmat-Mu, nikmat-Mu Ilahi”, dan
Semua yang
diridhai.
Jalanku tanpa
arah
Hanya sampah di
lorong-lorong bersserakah
Kotor basah.
Tuhan, inikah
hakikat dunia?.
‘Ku tarik
kakiku melangkah
Meniti duri
jalanan terkapah
Bengkak
berdarah
‘Ku paksa
melangkah abaikan lelah
Tuhan,
beginikah sepak terjang hidup?.
(II)
Rantauanku
nyentuh lautan lebar panjang
‘Ku selami
sampai dasar lautan karang
Dengan mata
rapat liatin lautan dalam membentang.
Petang, laksana
jurang.
Di dalamnya ‘ku
cari batu mutiara sebagai penerang
Batinku
Mataku
Mataku menjerit
kepedihan
Dihimpit
gelapnya lautan
Hatiku berbisik
pada batinku
Guna mengejar
buruannya yang tak kelihatan alamatnya
Tanpa ada putus
asa, ‘ku kejar bruan itu seksama
Dengan mata
terpejam.
Karang pun
menerkam.
Kaki
telanjangku terasa nangis darah hitam
Terang tak
dapat, pedih mendapatiku.
“Tuhan, terasa
berat dipikul, ringan dipukul.
Berat. Pedih.
Mengurung.
Terang tak
kunjung”.
Gumamku
membatin
Harapanku
nyaris ludes,
Tak jauh
kemudian batinku mengelus
Berkata:
“Jangan resah gelisah. Usaha asah terus”.
Batinku
mengiyakan.
Mutiara terang
emas tak beralamat itu ‘ku tinggalkan
‘Ku terbang ke
daratan.
(III)
Rantauanku kini nyentuh anak gunung
Sekitarnya bebatuan bak bambu
runcing meraung
Tak kalah buasnya lautan menyerang.
Kini, batinku berbisik:
“Ini tak seberapa menyengat,
Apalagi induknya kemudian, kan lebih sangat”.
Tuhan Maha segalanya,
Limpahkan kekuatan.
Kemudahan.
Pengampunan.
Hamba-Mu kebingungan dalam ketenangan.
Tuhan, ‘ku
serahkan kepada-Mu urusan kehidupan,
Hanya
kepada-Mu.
Tangisku reda.
Wajahku penuh
warna.
Percaya diri.
Kakiku
melangkah menapaki jalanan berduri
Tak peduli yang
menghalangi
Semangat tak
kenal lelah
Bebatuan
runcing disepah
Karena nikmat
Tuhan melimpah
Di pangkal
gunung,
‘Ku melongoh ke
ujung,
‘Ku tegap tak
kalah gagahnya gunung.
Aku disambut
dengan lambayan jagung.
‘Ku coba
mendaki gunung tinggi
Makin tinggi,
penghalang makin tinggi.
Dengan sabar
‘ku hadapi
Halangan
merintangi.
Detik berganti
menit, menit berganti jam.
Tiba ke puncak
gunung dahulu menghantam.
Usaha
beradaptasi
Desiran angin
menghinggapi
Bulu kuduk
merinding
Seakan
membanting.
Kemudian, jiwa
dapatkan ketenangan
Dendang
nyanyian burung bergantian
‘Ku nanggapi
keindahan.
Subhanallah, begitu indah ciptaan Tuhan
Indah sekali.
Bertasbih
memuji berkali-kali.
Tuhan, hamba
tenang tentram
Dalam rantauan.
Tanks you my
god
Surabaya,
16/3/’14
MUHAMMAD
Muhammad..
Kaulah titisan
benih Ibrahim
Kaulah rintisan
Bani Qasim
Kaulah Abu
al-Qasim
Kemulyaanmu
melangkahi Adam
Wajahmu bak
mentari tak kunjung padam,
Bahkan semesta
alam.
Muhammad..
Kaulah terlahir
pembawa rahmat
Bagi segenap
umat
Juga aku,
penikmat.
Muhammad..
Namamu Muhammad
juga ahmat
Dua nama penuh
khidmat
Terpuji jauh
laknat.
Ahmadmu bak
orang shalat
Alif-mu berdiri tegak
Hak-mu rukuk membengkuk
Mim-mu sujud berserah
Dal-mu tassyahud pasrah.
Oh..
Muhammadku..
Shalawatku
ngalir
Dalam
keheningan membanciri rongga-rongga bibir.
Oh..
Muhammadku..
Inilah aku,
Dari kepingan
umatmu.
Bertamu.
Memburu
syafaatmu.
Bisikkan kepada
Tuhan
Guna dapat
bagian,
Syafaat
dambaan,
Hari akhir
kepastian
Oh..
Muhammadku..
Surabaya,
20/3/’14
MADURAKU
Kaulah diri dan
batinku
Aku terlahir
dari perutmu
Kaulah
pelindungku
Aku berteduh di
bawahmu
Dari sepak
terjang negaramu
Maduraku,
Maduku.
Darahku.
Inilah asbab
keutuhanmu dari para biadab, laknat.
Madu rasa
tentram nikmat.
Darah tanggung
jawab pantang mundur, lengket.
Madura kesatuan
madu dan darah.
Kesatuan
perjuangan menentramkan daerah.
Maduraku,
Tunas-tunas
yang lahir dari perutmu, kini tumbuh kembang.
Jadi
tunas-tunas gagah berani juang,
Menggantikan
pohon rindang tebang.
Maduraku,
Madu dan
darahku,
Ketentramanku,
Pejuang,
pahlawanku.
Sumenep,
21/3/’14
DUNIA
Dunia harus dipahami, mengerti.
Harus dihayati, nikmati.
Makmur tentram loh jinawi.
Jangan sebaliknya!
Hancur.
Lebur.
Tak terukur.
Madura,
22/3/’14
KEADILAN
Mereka hanya
mikir harta nan tahta,
Lupakan tugasnya.
Mereka berfoya
manja,
Rakyat jelata
kelaparan ulahnya.
Bila cinta
sudah dibuang,
Jangan harap
keadilan akan datang.
Kesedihan hanya
jadi tontonan,
Bagi mereka
yang diperbudak jabatan.
Keadilan
ditelantarkan, dimatikan.
Manakah letak
keadilanmu negarawan?
Dalam meja
pengadilan,
Rakyat miskin
benar tak beruang, kalah.
Kaya salah
beruang, menang.
Manakah letak
keadilanmu negarawan?
Keadilanmu
telah lama dimakan uang.
Rakyat jelata
tak berdaya melonglong di pinggir jalan kelaparan,
Sebab kau
kurangi takaran.
Malah, kau tak
peduli mereka.
Manakah belas
kasihmu?
Manakah
manusiawimu?
Sakit hati,
Tergores
tingkah bejatmu ini.
Kini kau dapat
bersenang ria dengan kebejatanmu.
Tapi nanti di
pengadilan Sang Hakim Agung, lunglailah kau.
Na’udzubillahi
min dzalik.
Sumenep,
23/3/’14
SASTRA
Rangkaian
fikiran nan kata-kata
Kumpulan kata
bersahaja mengandung rasa
Dicipta indah
di telinga
Pengaruhi
pendengar dan pembaca.
Karya ini punya
rasa
Karya ini punya
harga
Karya ini
ungkapan kata
Kata yang
membara.
Sastra..
Karyaku
karyanya
Sama saja.
Sumenep,
26/3/’14
PESAN
Kepada sang
kekasih
Kasih..
Di manakah saat
ini kau merindih?
Adakah kau
merindih di atas bantal yang putih?
Menahan
sangatnya pedih, perih.
‘Ku yakin
hatimu membara,
Kareba gagal
bersua
Kekasih yang
dicinta penuh bangga.
Kekasih yang didamba-damba di depan mata.
Kasih..
Bersabarlah!
Tabahlah!
Walau dambaanmu
disambut dengan sedih.
Pedih.
‘Ku yakin
kebahagian ‘kan segera kita raih.
Surabaya, 26/3/’14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar