Senin, 31 Maret 2014

ANTOLOGI PUISI ABDURRAHMAN KHAZIN (1)



Antologi Puisi Abdurrahman Khazin (1)

PENUH JUANG
                                   
            Jalan bebatuan menusuk-nusuk kaki
Aspal tua semakin dicaci
Bukan tanpa usaha untuk diperbaiki
Namun, belum bisa disaji
Rumput liar berhijauan menari-nari
Menyambut sekelompok orang penuh bakti.

Kehidupan yang berbeda
Jauh dari kota turun ke desa
Bersosialisasi kerahkan usaha
Dengan rakyat desa nan jelita
Bukan karena gila dengan semuanya
Namun semata memburu data.

Demi tugas mulia,
Hari-hari kulalui
Penuh duri menghantui
Di bawah langit kelabu
Awan pun seakan membeku

Kehidupan masyarakat berjalan dengan takdirnya
Kuberbaur menelusuri kehidupannya
Mencoba menyatu dengan alamnya
Alam pun menyambutku dengan seksama
Sambutan yang penuh makna.

Anak-anak kecil tanpa dosa
Pewaris tahta desa
Bermain mengitari relung-relung senja
Kucoba cumbu mereka
Agar pandai merangkai kata
Tanpa kata mereka berlomaba-lomba
Mengitari segudang aksara.

Demi tugas mulia,
Datang dari kejauhan sana
Ke tempat juang penuh warna
Berjuang tanpa kenal lelah dan dahaga
Sampai waktu penentuan tiba.

                                                            Madiun, 21/1/2014



DIA, PUJAANKU

            Perasaan berkecamuk dalam hati
Menari-nari penuh arti
Hari-hari kulalui
Perasaan hati yang menghantui
Pada orang yang kucintai.

Sri Wardah, nama yang indah
Seindah cintaku di kemudian hari
Kan melekat di hati.

Dia mengundang nafsu
Sebelum kurayu.

Di kemudian hari,
Ku memberanikan diri
Lontarkan kata-kata penarik hati
“Ku, mencintaimu”
Pujaanku, selamanya.

Surabaya, 25/2/2014



MASA

            Demi masa,
Manusia dalam kerugian
Mereka yang lupa akan sejarah
Sejarah kehidupan Sang Pencerah
Berjuang di Makkah dan Madinah
Tanamkan hikmah.

Demi masa,
Manusia dalam kerugian
Mereka yang lupa akan saudaranya
Sesama dan seagama
Terapkan asosila
Matikan sosialnya.

Masa ke masa,
Manusia dicipta berbangsa-bangsa
Agar saling mengenal nan sapa
Bukan bercerai tanpa sapa

Masa silam,
Pengetahuan kelam
Tanpa cahaya nan suram
Patut saling perang.

Sekarang,
Pengetahuan terang
Ironi adanya perang.
Tapi, manusia lupakan hakikat penciptaan
Perang disematkan,
Badai ditimpakan,
Perut bumi digoncangkan,
Gunung pun memuntahkan,
Itulah, ulah mereka mematikan.

Kecuali, kecuali mereka peduli sesama, bangsa dan negara
Mereka yang taat beragama.


Surabaya, 25/2/2014



SUNYIKU

            Jarum jam menari-nari di dinding kamarku
Berbunyi menampar telinyaku
Membangunkan badan kakuku
Namun, sukmaku masih melayang-layang di sampingku.

Di susul deruan alarm
Mataku masih merem
Deruan itu makin keras
Sukmaku balik sampai teras
Ke badanku merasuk terus.

Di kesunyian hari,
Jarum jam berlarian tanpa henti
Menunjukkan angka tiga dini hari
Badanku tegak memaksakan diri
Wudhuk mensucikan diri
Tahajjud memasrahkan diri
Kepada Tuhan Ilahi Robbi.

Sunyiku makin lama merangkak
Kakiku di atas sajadah membengkak
Putaran tasbih kepada Tuhan serentak.

Sunyiku makin berlalu
Berganti fajar tanda shubuh selalu
Begitulah perjalanan sunyiku.

Surabaya, 26/2/14



TEGAK BERDIRI

            Dari kecil tak tau apa-apa
Belajar tak kenal aba-aba
Mulai merangkak penuh upaya
Berdiri di dinding-dinding, beranda-beranda
Kemudian, berjalan dan berlari ria
Tak jemu tak kenal lelah, yakin sampai bisa
Begitulah manusia.

Waktu berlalu sampai saatnya tumbuh dewasa
Belajar menupang diri
Di atas sendiri
Belajar lagi hidup mandiri
Tegak berdiri
Bawa beban berat sendiri.

Waktu semakin berlalu
Belajar pun semakin semarak dilalu.

Manusia sebagai khalifah
Hidup bukan hanya pasrah
Kewajiban berdoa dan berusaha
Tak kenal lelah dalam semua
Terus semangat mengucurkan keringat.

Terus tegak dalam goncangan ombak yang galak
Berdiri di atas diri sendiri
Harus tegak berdiri dalam semua.

Surabaya, 2/3/’14



DOA

            Ke dunia manusia dilahirkan
Di dunia mereka mengadu nasip
Di dunia mereka tinggal hidup
Bahkan, di dunia pula mereka menentukan pilihan hidup
Mau hidup tentram, damai, mau hidup melarat, sengsara mereka menentukan.

Semua itu ditentukan usaha dan doa
Ya, dengan usaha dan doa
Usaha tanpa doa, sombong
Doa tanpa usaha, bohong
Keinginan tanpa usaha dan doa, sia-sia.

Harusnya selalu usaha dan doa
Berusahalah...
Berdoalah...
Sampai waktu menjawabnya.

Surabaya, 3/3/’14



MABUK CINTA

            Sempat ku mabuk kepayang
Cintaku melayang
Menjemputmu sayang
Tuk temaniku di negeri orang.

Pagi ini, ayamku berkokok keras sekali
Seperti memaki, bangunkan ku dari mimpi
Hari ini, pujaan hatiku telah kembali
Melelehkan hatiku yang selama ini mati suri.

Hari ini ku bahagia,
Hari istimewa,
Karena kau menemaniku kembali
Ku bahagia sekali.

Langit hangat mentari,
Semua jelas ku rasa asik sekali.
Rasa rindu, rasa sepi,
Semua menghilang jauh sekali.
Ku bahagia denganmu kembali.

Surabaya, 7/3/’14



PASRAH

            Ku pasrahkan kepadamu Tuhan
Diri ini, dan semua apa yang telah ku lakukan
Hanya kepada-Mu Tuhan.

Ku lakukan apa yang diperintahkan sekuat tenagaku
Ku jauhi apa yang dilarang sekuat tenagaku
Tak peduli rintangan yang menghantu,
Karena aku percaya kepada-Mu,
Semua yang aku lakukan untuk-Mu kembali padaku
Semua itu efek belas kasih-Mu

Tuhan,
Diri yang hina ini,
Diri yang berlumuran dosa ini,
Diri yang segudang kekurangan dan kelemahan ini,
Bersujud pada-Mu
Pasrah pada-Mu
Remuk di hadapan-Mu
Ber-istighfar pada-Mu
Berharap ampunan-Mu
Segala dosa-dosaku,
Yang sekarang, esok dan yang lalu-lalu.

Tuhan,
Hanya kepada-Mu ku menyembah
Hanya kepada-Mu ku mohon pertolongan
Hanya kepada-Mu ku mohon petunjuk
Hanya kepada-Mu ku mohon perlindungan
Dari makhluk terlaknat sampai kiamat
Dan hanya kepada-Mu Tuhan ku mohon syafaat
Melalui Muhammad pengayom umat.

Tuhan,
Kini, diri ini, ku hibah-kan kepada-Mu
Ku pasrah bila sampai waktuku
Nyawaku...
Nyawaku diangkat ke-­‘arasy-Mu
Hanya kepada-Mu Allah, Tuhanku
Ku berserah, Pasrah...

Surabaya, 8/3/’14



MERANTAU

(I)
Hidup seorang pencari,
Segala sesuatu yang diridhai Tuhan sang Ilahi.
Ke sana, ke mari, berlari-lari sambil mendaki,
Tembok penghalang diri kepada-Mu Robbi.

Hakikat hidup yang kucari,
Kebahagiaan dunia-ukhrowi.
Tuhan, maha menghendaki, maha memberi,
“Limpahkan rahmat-Mu, nikmat-Mu Ilahi”, dan
Semua yang diridhai.

Jalanku tanpa arah
Hanya sampah di lorong-lorong bersserakah
Kotor basah.
Tuhan, inikah hakikat dunia?.

‘Ku tarik kakiku melangkah
Meniti duri jalanan terkapah
Bengkak berdarah
‘Ku paksa melangkah abaikan lelah
Tuhan, beginikah sepak terjang hidup?.

(II)
Rantauanku nyentuh lautan lebar panjang
‘Ku selami sampai dasar lautan karang
Dengan mata rapat liatin lautan dalam membentang.
Petang, laksana jurang.
Di dalamnya ‘ku cari batu mutiara sebagai penerang
Batinku
Mataku
Mataku menjerit kepedihan
Dihimpit gelapnya lautan

Hatiku berbisik pada batinku
Guna mengejar buruannya yang tak kelihatan alamatnya
Tanpa ada putus asa, ‘ku kejar bruan itu seksama
Dengan mata terpejam.
Karang pun menerkam.
Kaki telanjangku terasa nangis darah hitam
Terang tak dapat, pedih mendapatiku.

“Tuhan, terasa berat dipikul, ringan dipukul.
Berat. Pedih. Mengurung.
Terang tak kunjung”.
Gumamku membatin

Harapanku nyaris ludes,
Tak jauh kemudian batinku mengelus
Berkata: “Jangan resah gelisah. Usaha asah terus”.
Batinku mengiyakan.
Mutiara terang emas tak beralamat itu ‘ku tinggalkan
‘Ku terbang ke daratan.

(III)
Rantauanku kini nyentuh anak gunung
Sekitarnya bebatuan bak bambu  runcing meraung
Tak kalah buasnya lautan menyerang.
Kini, batinku berbisik:
“Ini tak seberapa menyengat,
Apalagi induknya kemudian, kan lebih sangat”.

Tuhan Maha segalanya,
Limpahkan kekuatan.
Kemudahan.
Pengampunan.
Hamba-Mu kebingungan dalam ketenangan.
Tuhan, ‘ku serahkan kepada-Mu urusan kehidupan,
Hanya kepada-Mu.

Tangisku reda.
Wajahku penuh warna.
Percaya diri.
Kakiku melangkah menapaki jalanan berduri
Tak peduli yang menghalangi
Semangat tak kenal lelah
Bebatuan runcing disepah
Karena nikmat Tuhan melimpah

Di pangkal gunung,
‘Ku melongoh ke ujung,
‘Ku tegap tak kalah gagahnya gunung.
Aku disambut dengan lambayan jagung.

‘Ku coba mendaki gunung tinggi
Makin tinggi, penghalang makin tinggi.
Dengan sabar ‘ku hadapi
Halangan merintangi.
Detik berganti menit, menit berganti jam.
Tiba ke puncak gunung dahulu menghantam.

Usaha beradaptasi
Desiran angin menghinggapi
Bulu kuduk merinding
Seakan membanting.
Kemudian, jiwa dapatkan ketenangan
Dendang nyanyian burung bergantian
‘Ku nanggapi keindahan.
Subhanallah, begitu indah ciptaan Tuhan
Indah sekali.
Bertasbih memuji berkali-kali.

Tuhan, hamba tenang tentram
Dalam rantauan.
Tanks you my god

Surabaya, 16/3/’14



MUHAMMAD

Muhammad..
Kaulah titisan benih Ibrahim
Kaulah rintisan Bani Qasim
Kaulah Abu al-Qasim
Kemulyaanmu melangkahi Adam
Wajahmu bak mentari tak kunjung padam,
Bahkan semesta alam.

Muhammad..
Kaulah terlahir pembawa rahmat
Bagi segenap umat
Juga aku, penikmat.

Muhammad..
Namamu Muhammad juga ahmat
Dua nama penuh khidmat
Terpuji jauh laknat.
Ahmadmu bak orang shalat
Alif-mu berdiri tegak
Hak-mu rukuk membengkuk
Mim-mu sujud berserah
Dal-mu tassyahud pasrah.

Oh.. Muhammadku..
Shalawatku ngalir
Dalam keheningan membanciri rongga-rongga bibir.

Oh.. Muhammadku..
Inilah aku,
Dari kepingan umatmu.
Bertamu.
Memburu syafaatmu.

Bisikkan kepada Tuhan
Guna dapat bagian,
Syafaat dambaan,
Hari akhir kepastian
Oh.. Muhammadku..

Surabaya, 20/3/’14



MADURAKU

Kaulah diri dan batinku
Aku terlahir dari perutmu
Kaulah pelindungku
Aku berteduh di bawahmu
Dari sepak terjang negaramu

Maduraku,
Maduku.
Darahku.
Inilah asbab keutuhanmu dari para biadab, laknat.
Madu rasa tentram nikmat.
Darah tanggung jawab pantang mundur, lengket.

Madura kesatuan madu dan darah.
Kesatuan perjuangan menentramkan daerah.

Maduraku,
Tunas-tunas yang lahir dari perutmu, kini tumbuh kembang.
Jadi tunas-tunas gagah berani juang,
Menggantikan pohon rindang tebang.

Maduraku,
Madu dan darahku,
Ketentramanku,
Pejuang, pahlawanku.

Sumenep, 21/3/’14



DUNIA

Dunia harus dipahami, mengerti.
Harus dihayati, nikmati.
Makmur tentram loh jinawi.

Jangan sebaliknya!
Hancur.
Lebur.
Tak terukur.

Madura, 22/3/’14



KEADILAN

Mereka hanya mikir harta nan tahta,
Lupakan tugasnya.
Mereka berfoya manja,
Rakyat jelata kelaparan ulahnya.

Bila cinta sudah dibuang,
Jangan harap keadilan akan datang.
Kesedihan hanya jadi tontonan,
Bagi mereka yang diperbudak jabatan.

Keadilan ditelantarkan, dimatikan.
Manakah letak keadilanmu negarawan?

Dalam meja pengadilan,
Rakyat miskin benar tak beruang, kalah.
Kaya salah beruang, menang.
Manakah letak keadilanmu negarawan?
Keadilanmu telah lama dimakan uang.

Rakyat jelata tak berdaya melonglong di pinggir jalan kelaparan,
Sebab kau kurangi takaran.
Malah, kau tak peduli mereka.
Manakah belas kasihmu?
Manakah manusiawimu?
Sakit hati,
Tergores tingkah bejatmu ini.

Kini kau dapat bersenang ria dengan kebejatanmu.
Tapi nanti di pengadilan Sang Hakim Agung, lunglailah kau.

Na’udzubillahi min dzalik.

Sumenep, 23/3/’14



SASTRA

Rangkaian fikiran nan kata-kata
Kumpulan kata bersahaja mengandung rasa
Dicipta indah di telinga
Pengaruhi pendengar dan pembaca.

Karya ini punya rasa
Karya ini punya harga
Karya ini ungkapan kata
Kata yang membara.

Sastra..
Karyaku karyanya
Sama saja.

Sumenep, 26/3/’14



PESAN
Kepada sang kekasih

Kasih..
Di manakah saat ini kau merindih?
Adakah kau merindih di atas bantal yang putih?
Menahan sangatnya pedih, perih.

‘Ku yakin hatimu membara,
Kareba gagal bersua
Kekasih yang dicinta penuh bangga.
Kekasih  yang didamba-damba di depan mata.

Kasih..
Bersabarlah!
Tabahlah!
Walau dambaanmu disambut dengan sedih.
Pedih.
‘Ku yakin kebahagian ‘kan segera kita raih.

Surabaya, 26/3/’14

Tidak ada komentar:

Posting Komentar