DARAH
DAN PERMASALAHANNYA
Petunjuk
Bagi Wanita
Penyusun dengan
Bahasa Madura Khat Pegun:
KH. M.
Habibullah bin M. Rois
(alm. Pengasuh
PP. Al-Is’af Sumenep)
Alih bahasa
Indonesia:
Abdurrahman
Khazin
KATA
PENGANTAR
Dengan
menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
Saya
menulis buku ini didahului dengan menyebut nama Tuhan yang Maha Penyayang.
Segala puji hanya milik Allah selamanya. Shalawat serta salam semoga senantiasa tetap tercucur deraskan
kepangkuan sang kekasih Allah; baginda nabi besar Muhammad, para keluarganya
dan sahabat-sahabatnya yang terbaik selagi air masih mengalir di berbagai
sungai.
Buku (risalah) ini ditulis dengan hanya
sebatas pemahaman saya, apabila para pembaca menemukan kekurangan dan
kesalahan, mohon koreksinya.
PENDAHULUAN
Semua
perempuan (wanita) yang sudah mukallaf (baligh) diwajibkan belajar
hal-hal yang dituntut syariah untuk diketahui, lebih-lebih terhadap hukum-hukum
yang berkaitan dengan darah yang keluar dari vaginanya. Seorang suami
berkewajiban mengajari istrinya apabila mengetahui (paham) terhadap hal-hal
yang berkaitan dengan darah yang keluar dari vagina istrinya, juga hal-hal yang
dituntut syariah Islam untuk diketahui.
Apabila
seorang suami tidak mengetahui (tidak paham), maka istrinya wajib keluar rumah
mencari guru yang bisa mengajari hal-hal yang wajib diketahui umat Islam secara
perorangan (fardu ‘ain[1]),
walaupun sampai ke tempat yang jauh, dan seorang suami tidak boleh dan bahkan haram
menghalangi istrinya belajar. Kecuali suami itu bersedia belajar dan kemudian
siap mengajari istrinya dengan benar dan tepat, dan dia jujur, ulet dan bukan
orang pelupa.
Apabila
seorang istri keluar rumah bukan karena ingin belajar hal-hal yang wajib
diketahui (fardu ‘ain) seperti: berpidato, mengajar, berdzikir dan lain
sebagainya, maka haram (berdosa). Kecuali dia diidzini oleh suaminya dan harus
membawa teman yang muhrim[2],
maka hal itu diperbolehkan.
BAB
I
DARAH
DAN MACAM-MACAMNYA
Ada 3 (tiga) macam darah yang biasa
keluar dari vagina wanita, antara lain sebagai berikut, yaitu: darah haid
(faktor kebiasaan), darah nifas (karena melahirkan) dan darah istihadlah
(penyakit).
A.
Darah Haid
1.
Definisi
Darah
haid adalah darah yang keluar dari vagina (farji) wanita karena faktor
kebiasaan, bukan karena melahirkan, atau bahkan bukan karena faktor penyakit
dan lain sebagainya.
Darah
ini keluar dari vagina wanita yang genap berumur 9 tahun, atau belum sampai 9
tahun, tapi tidak lebih dari 15 hari. Apabila permulaan keluarnya darah kurang
dari 20 hari sampai 15 hari, maka 5 hari dari permulaan keluarnya darah itu
dikatakan (dihukumi) darah penyakit (istihadlah), dan 10 hari berikutnya
dikatakan darah haid. Karena setelah darah penyakit yang 5 hari tadi, 15 hari
sisanya itu adalah batas minimum permulaan keluarnya darah haid bagi wanita
yang berumur 9 tahun kurang 15 hari.
2.
Syarat
Syarat
darah haid adalah keluarnya darah ini harus tidak kurang dari 24 jam dalam
jangka waktu 15 hari. Dan dari bersih (mampet/suci (mampet)) nya darah haid
yang sebelumnya ke haid berikutnya (dikatakan masa suci (mampet)) harus tidak
kurang dari 15 hari 15 malam.
3.
Pemasalahan atau Masalah Waktu
Walaupun
keluar darah sampai beberapa hari, namun setiap harinya hanya keluar darah
selama 1 jam, maka semua darah yang keluar ini dihukumi darah penyakit (istihadlah),
karena darah yang keluar hanya 15 jam dalam jangka waktu 15 hari. Hal ini tidak
sampai 24; tidak mencukupi syarat. Sebaliknya, walau darah itu hanya keluar
selama sehari-semalam, namun darahnya keluar terus-menerus[3],
maka dihukumi haid, karena darah yang keluar mencukupi syarat; yaitu 24 jam.
Begitu
juga tidak dikatakan (tidak dihukumi) haid, apabila permulaan keluarnya darah
dari suci (mampet)nya haid yang sebelumnya masih belum sampai 15 hari. Contoh: “suci
(mampet) (mampet) nya haid yang sebelumnya jatuh pada tanggal 6 Januari atau
bulan Muharram[4],
tanggal 18 pada bulan itu juga keluar darah lagi sampai tanggal 25, maka mulai
pada tanggal 18 sampai 21 dihukumi (dikatakan) darah istihadlah untuk
mencukupi masa suci (mampet) selama 15 hari dari haid sebelumnya. Sedangkan
sisa darah dari tanggal 22 sampai 25 Januari dihukumi darah haid apabila
mencukupi syarat (darah yang keluar sampai 24 jam dan tidak lebih dari 15 hari)”.
Apabila
darah yang keluar putus-putus, namun pada hitungan sampai 15 hari dari berhenti
keluar (suci (mampet)) atau selumnya, maka darahnya dihukumi haid semua.
contoh: “keluar darah pada tanggal 1 Januari sampai tanggal 6 darahnya
berhenti, dan kaluar lagi pada tanggal 10 sampai tanggal 15 Januari darahnya
berhenti lagi sampai akhir bulan, maka darahnya dihukumi darah haid. Adapun
putusnya[5]
darah itu menurut pendapat al-Laqthu[6]
adalah dihukumi suci (mampet). Akan tetapi menurut pendapat al-Sahab[7]adalah
pendapat yang Mu’tamad (paling kuat dan berbobot) dihukumi darah haid”.
Adapun
darah yang keluar di antara anak kembar apabila kebetulan wanita itu sedang
haid, maka dihukumi haid. Apabila tidak sedang haid, maka darah yang keluar
dihukumi darah istihadlah.
Begitu
juga darah yang keluar sebelum anak dilahirkan, atau bersamaan dengan lahirnya
anak itu apabila darah itu bersambung dengan darah haid sebelum anak
dilahirkan, maka dihukumi darah haid. Apabila tidak bersambung (ada jeda atau
pemisah), maka dihukumi darah istihadlah dan wajib mengganti shalat dan
puasa yang ditinggal, karena darah itu darah istihadlah.
Darah
yang keluar sesudah nifas (melahirkan) yang genap 60 hari dan darah itu putus
(berhenti sebentar), maka darah itu dihukumi haid apabila mencukupi syarat.
Atau darah nifas belum sampai 60 hari, tapi darahnya putus (berhenti keluar),
kemudian keluar darah lagi, maka darah yang keluar itu dihukumi haid.
4.
Waktu atau batas masa keluarnya darah haid
Batas
masa atau waktu wanita haid yang sudah jadi kebiasaan adalah 6 hari atau 7 hari
(1 minggu). Dan ada juga di luar kebiasaan yang disebutkan di atas.
B.
Darah Nifas
1.
Definisi
Darah nifas adalah darah yang keluar dari vagina wanita yang
melahirkan atau setelah rahimnya kosong (karena habis melahirkan).
2.
Permasalahan yang berkaitan dengan shalat dan puasa
Permulaan keluarnya darah ini sebelum sampai 15 pasca melahirkan.
Jadi, apabila setelah melahir tidak keluar darah sama sekali, sampai dapat 10
hari, kemudian kelauar darah walau hanya setetes, maka darah ini di hukumi
nifas, asalkan keluar darahnya itu tidak sampai 60 hari setelah melahirkan.
Adapun hari-hari yang tidak ada darah dari sehabis melahirkan
sampai permulaan keluarnya darah nifas dihukumi suci (mampet). Jadi, wanita itu
wajib shalat, puasa Ramadlan dan halal di-wathi’ (digauli) dengan
syarat: setelah melahirkan tidak keluar darah sama sekali sampai waktu
permulaan keluarnya darah nifas sebelum sampai 15 hari setelah melahirkan. Apabila
setelah melahirkan keluar darah walau hanya setetes, maka apabila darah itu
putus, dan putusnya itu tidak sampai 15 hari, maka dihukumi nifas, asalkan
tidak lebih 60 hari.
Apabila putusnya darah ini sampai 15 hari, maka sebelum putusnya
darah itu dikukumi nifas, dan darah yang keluar sesudah putusnya darah itu
dihukumi haid. Jadi, apabila tidak keluar darah sama sekali sampai lebih dari
15 hari, dan kemudian keluar darah setelah itu, maka darah itu dihukumi darah
haid[8], asalkan
mencukupi syarat-syarat haid.
Apabila putusnya berada di tengah-tengah darah nifas yang tidak
sampai 15 hari, maka menurut pendapat Jumhuru al-‘Ulama’ dihukumi suci
(mampet) (wajib shalat dan puasa), dan menurut pendapat minuritas ulama dan
pendapat yang mu’tamad (pendapat yang kuat dan kokoh) darah yang keluar
itu termasuk atau dihukumi darah nifas.
3.
Waktu atau batas masa keluarnya darah nifas
Jangka waktu keluarnya darah nifas yang sudah jadi tradisi wanita
adalah selama 40 hari, dan paling lamanya adalah 60 hari. Apabila lebih dari 60
hari, dan kemudian pas sampai 60 hari putus walaupun hanya sebentar (lahdzah),
maka darah yang keluar sesudah putusnya darah ini dihukumi haid, asalkan
mencukupi syara-syarat haid. Apabila darah itu tidak putus (darah yang keluar
lebih dari 60 hari) menurut pendapat yang mu’tamad, maka dihukumi haid
yang lebih dari 15 hari, dalam artian, selebihnya darah yang keluar dari batas
paling lamanya nifas, itu dihukumi darah penyakit (istihadlah), maka
wajib shalat dan puasa. Berikut penjelasan darah tersebut.
C.
Darah Istihadlah
1.
Definisi
Darah istihadlah adalah darah yang keluar dari vagina wanita
yang bukan darah haid dan darah nifas.
Apabila istihadlah karena haid dan nifasnya lebih dari batas
paling lama waktunya, maka hukumnya ada 7 macam, seperti yang akan diulas
penjelasannya di bawah ini.
2.
Warna-warna darah
Adapun
macam-macam warna darah yang keluar dari vagina wanita ada 5 macam warna,
antara lain:
a)
Darah
yang paling kuat sifatnya adalah warna hitam,
b)
Kemudian
darah yang berwarna merah,
c)
Darah
yang berwarna merah muda,
d)
Darah
yang berwarna kuning, dan
e)
Darah
yang paling lemah sifatnya adalah berwarna keruh.
Terkadang warna darah yang macam 5 disertai dengan (darah kental),
terkadang disertai dengan bau, dan terkadang juga bersamaan antara (darah
kental) dan bau. Darah yang lebih banyak sifatnya adalah darah yang paling kuat
sifatnya.
Seperti darah warna merah disertai bau, maka darah ini tingkatannya
lebih kuat dari pada darah cuma warna merah. Darah warna merah disertai bau ini
sama tingkatnya dengan warna hitam. Darah warna merah bau sama tingkatnya
dengan darah warna merah (darah kental), maka yang anggap paling kuat sifatnya
adalah yang lebih awal keluar.
BAB II
Pada bab ini akan membahas masalah-masalah darah yang keluar dari
vagina wanita, baik bagi perempuan yang baru keluar darah (mula-mula keluar
darah) atau bagi wanita yang sudah biasa keluar darah. Ada 7 masalah yang harus
diperhatikan bagi seorang wanita, antara lain:
A.
Mubtada’ Mumayyizah[9]
1.
Definisi
Mubtada’ Mumayyizah adalah wanita yang permulaan keluar darah dari
vaginanya yang langsung lebih dari 15 hari darahnya 2 macam (kuat dan lemah).
Seperti hari pertama berwarna hitam dan sehari kemudian berwarna merah
bergantian selama 5 hari, sesudah 5 hari darah yang keluar berwarna merah
sampai akhir 1 bulan, maka yang dihukumi haid adalah cuma sampai terakhir
keluarnya darah warna hitam (kuat)[10].
2.
Syarat-syarat
Dalam contoh di atas, hanya 5 hari yang dihukumi haid. Adapun
sesudahnya dihukumi darah istihadlah dengan syarat:
a)
Darah
yang sifatnya kuat tidak kurang dari 24 jam sebelum 15 hari.
b)
Darah
yang sifatnya lemah yang keluarnya terus-menerus (tidak bergantian lagi dengan
darah yang sifat kuat) ini tidak kurang dari 15 hari dari haid sesudahnya.
c)
Antara
darah yang sifatnya kuat dan yang lemah harus tidak dipisah suci (mampet)
(tidak haid) sampai 15 hari atau lebih.
d)
Darah
yang sifatnya kuat harus tidak lebih dari 15 hari.
Apabila keluar darah warna hitam 5 hari, setelah itu keluar darah
merah 15 hari, sesudah itu ganti lagi berwarna hitam selama 5 hari, maka darah
yang berwarna hitam 5 hari paling depan dihukumi haid, kemudian darah yang
keluar selama 15 hari dihukumi istihalah. Darah hitam 5 hari di belakang
dihukumi haid yang lain (haid berikutnya), cuma dalam istihadlah paling
depan dihukumi suci (mampet).
Menunggu sampai lebihnya keluarnya darah dari 15 hari. Apabila
dalam istihadlah setelahnya, maka kemudian wajib adhus (mandi
besar: mandi karena haid atau nifas) setelah darah kuat yang 5 hari yang sama
sama dengan contoh di atas. Apabila darah yang lemah tidak sampai 15 hari, di tengah-tengah darah
kuat yang tidak melebihi 15 hari, maka hal ini seperti hukumnya putus-putusnya
darah haid (dalam hal ini ada dua pendapat seperti yang telah dijelaskan di
depan).
B.
Mubtad’ Ghairu Mumayyizah[11]
1.
Definisi
Mubtad’ Ghairu Mumayyizah adalah wanita yang mula-mula keluar darah
dari vaginanya yang langsung lebih dari 15 hari dan tidak bisa membedakan darah
haid atau tidaknya, karena darahnya yang keluar tidak bermacam-macam, atau
tidak tau macam-macamnya darah, atau pun tidak mencukupi syarat-syarat ukuran
warna-warna darah, maka yang dihukumi haid hanya sehari semalam dari hari
permulaannya atau selama 24 jam.
2.
Pemasalahan
Dipermulaan istihadlah ini, disunnahkan menunggu darah yang
keluar dari vagina wanita itu lebih 15 hari, kemudian adhus (mandi
besar: mandi karena haid atau nifas), dan meng-gadlo (mengganti) shalat
dan puasanya setelah sehari semalam atau 24 jam (syarat paling sebentarnya
darah haid), ketika sudah diketahui permulaan keluarnya darah.
Apabila tidak diketahui permulaan keluarnya, maka hukumnya seperti
wanita itu bingung kapan permulaan keluarnya (penjelasannya akan dipaparkan di
bab berikutnya). Adapaun di bulan berikutnya, wanita itu harus langsung adhus
sehabis keluar selama sehari semalam atau 24 jam.
C.
Mu’tadah Mumayyizah[12]
1.
Definisi
Mustahadlah[13] yang sudah pengalaman haid dan suci (mampet) sebelum istihadlah,
dan waktu istihadlah-nya ini darahnya 2 warna (darah yang bersifat kuat
dan lemah) dan mencukupi syarat ukuran bengantian darahnya, maka darah yang
kuat ini dihukumi haid walau berbeda dengan apa yang telah wanita itu pernah
alami.
2.
Permasalaha
Seperti sebelum istihadlah darah haidnya 5 hari. Setelah
darah istihadlah kemudian keluar darah hitam 10 hari (darah kuat),
kemudian ganti darah merah (lemah) sampai satu bulan, maka yang dihukumi darah
haid adalah darah hitam yang 10 hari, meskipun berbeda dengan kebiasaannya (5
hari).
Apabila kebiasaannya itu memang 5 hari, namun darah itu terus
keluar sampai 23 hari, kemudian berganti darah warna hitam 6 hari, kemudian
berganti lagi berwarna merah lagi, maka hukumnya 5 hari kebiasaannya itu adalah
haid. Darah merah yang keluar lebih dari kebiasaannya (18 hari) dihukumi istihadlah, kemudian darah hitam 6 hari sisanya
dihukumi haid lagi, karena kuatnya sifat darah itu dan mencukupi jangka waktu
paling sedikitnya masa suci (mampet), bahkan lebih dari itu, sampai 17 hari.
D.
Mu’tadah Ghairu Mumayyizah al-Dzakirah[14]
Mustahadlah yang sudah
pengalaman haid dan suci (mampet), dan setelah istihadlah dia tidak bisa
membedakan pergiliran darahnya, karena darahnya tidak bermacam-macam atau tidak
mencukupi syarat untuk mengembalikan warna darahnya, seperti: setiap harinya
saling bergantian antara darah yang berwarna hitam dan merah (sehari hitam dan
merah di hari yang lain) sampai akhir bulan. Tetapi wanita itu masih ingat pada
waktu dan lamanya haid yang sebelumnya, seperti: permulaan haid sebelumnya
tanggal 1 sampai tanggal 3 (haidnya selama 3 hari), haid ini sekali saja atau
memang biasa lama haidnya Cuma 3 hari. Apabila suatu ketika darahnya sampai
lebih 15 hari, maka darah yang dihukumi haid adalah membandingkan pada haid
sebelumnya (kebiasaannya haidnya 3 hari). Adapun sisa darahnya dihukumi istihadlah.
Apabila haid yang sebelumnya sudah lebih dari 2 kali dan lamanya
tidak sama, seperti: “Berbeda dengan yang 3 hari, berbeda dengan yang 5
hari, berbeda dengan yang 7 hari dan teratur gilirannya”. Keluarnya darah
ini bisa dijadikan patokan apabila gilirannya sudah sampai 2 putaran atau
lebih. Seperti: “Pada bulan Januari haid 3 hari, bulan Februari haid 5 hari
dan bulan Maret[15]
haid 7 hari dan permulaannya sama-sama tanggal 1, maka hal ini masih belum
dijadikan patokan. Kecuali apabila pada bulan April hail lagi selama 3 hari,
bulan Mei haid 5 hari dan bulan Juni haid lagi 7 hari, maka hal ini bisa
dijadikan patokan di bulan berikutnya.
Apabila di bulan Juli haid dan darahnya sampai lebih dari 15 hari,
maka darah yang dihukumi haid hanya 3 hari, karena menempati giliran yang haid
3 hari. Pada bulan Agustus haid dan darahnya juga lebih 15 hari, maka yang
dihukumi haid hanya 5 hari, karena menempati giliran haid yang 5 hari, dan
begitu juga seterusnya.
Adapun selebihnya dari 3 dan 5 hari tadi dihukumi darah istihadlah. Dan pada waktu istihadlah pertama kali adalah
disunnahkan nunggu darahnya sampai 15 hari, kemudian mandi besar dan mengganti
shalatnya dari mulai darah yang tidak dihukumi haid[16].
Dan pada bulan-bulan berikutnya harus mandi besar sesudah darah yang dihukumi
haid”.
***
Wanita yang biasa haid (mu’tadah) yang kebiasaannya berbeda,
seperti contoh diatas dan sudah sampai 2 putaran atau lebih dan teratur, tapi
wanita itu lupa terhadap haid sebelum istihadlah, maka yang dihukumi
haid adalah waktu yang paling sedikit, seperti 3 hari pada waktu-waktu
tersebut. Jadi di akhir 3 hari wajib mandi besar, karena darah sudah bersih.
Dan juga pada waktu akhir 5 dan 7 hari sepeti contoh di atas adalah wajib mandi
besar, karena lebih berhati-hati.
Begitu juga bila bermacam-macam lama haid sebelumnya dan sudah 2
putaran atau lebih, tetapi tidak teratur gilirannya, seperti: “Pada putaran
perrtama; haid bulan pertama wanita itu haid selama 5 hari, bulan ke-2 haidnya
3 hari dan pada bulan ke-3 hainya 7 hari. Pada putaran ke-2; kemudian
gilirannya berubah, bulan ke-4 haidnya 3 hari, bulan ke-5 haidnya 5 hari dan
pada bulan ke-6 haidnya 7 hari. Wanita itu lupa pada giliran istihadlah
yang sebelumnya, atau tidak sampai 2 putaran, kemudian istihadlah dan
lupa juga terhadap lamanya istihadlah sebelumnya, maka darah yang
dihukumi haid pada contoh ke-2 ini adalah waktu yang paling sedikit juga”.
Jadi haid sebelum istihadlah juga berbeda-beda dalam 3
macam, yang dihukumi haid adalah waktu yang palingsedikit, akan tetapi di waktu
yang lebih ini, wajib mandi besar lagi, kerena lebih berhati-hati.
***
Wanita yang biasa haid (mu’tadah) yang kebiasaannya berbeda,
seperti contoh diatas dan sudah sampai 2 putaran atau lebih dan teratur, wanita
itu lupa terhadap gilirannya, tapi wanita itu ingat terhadap haid sebelum istihadlah,
seperti: setelah 5 hari keluar darah istihadlah, maka yang dihukumi haid
adalah darah yang keluar pas sebelum keluarnya darah istihadlah (5
hari). Sesudah keluarnya darah selama 7 hari harus mandi besar lagi, karena
hati-hati. Akan tetapi sesudah keluarnya darah selama 3 hari tidak usah mandi,
karena waktu atau masanya lebih sedikit.
Begitu juga ketika giliran keluaran darahnya tidak teratur, dan
sampai 2 putaran, tapi wanita itu ingat terhadap darah yang keluar pas sebelum
darah istihadlah, dalam artian seperti: istihadlah di bulan Februari
lebih dari 15 hari, sedang haid sebelumnya bermacam-macam dan lupa terhadap
gilirannya atau gilirannya ini tak teratur atau tidak sampai 2 putaran, tapi
ingat pada lamanya haid di bulan sebelumnya (Januari), yaitu 5 hari.
Darah yang dibarengi istihadlah, maka darah yang dihukumi
haid di waktu istihadlah (di bulan Februari), pada 3 contoh di atas,
haid pada bulan Januari (5 hari) sisanya 5 hari itu dihukumi istihadlah
yang wajib shalat.
Mustahadlah yang sudah
pengalaman haid dan suci (mampet) yang ingat terhadap waktu haidnya, seperti: setiap
tanggal 1 sudah dipastikan haid. Juga wanita itu lupa terhadap lama keluar
darahnya, maka haidnya hanya sehari semalam (hanya pada waktu yakin haid:
tanggal 1). Adapun tanggal 16 sampai akhir bulan adalah waktu yakin suci
(mampet). Diantara 2 keyakinan ini (tanggal 1 dan 16-akhir bulan) ini, yaitu tanggal
2-15 hari dihukumi wanita yang mutahayyirah (bingung), jadi pada waktu
itu wajib mandi besar setiap mau mengerjakan shalat fardu.
Mustahadlah yang sudah
pengalaman haid dan suci (mampet) serta tidak dapat membedakan waktu kebiasaan
haidnya sebelum istihadlah itu lupa, cuma ingat bahwa kebiasaan haidnya
hanya 5 hari sebelum tanggal 10, dan wanita itu lupa terhadap permulaan
keluarnya, tapi ingat bahwa tanggal 1 yakin belum haid, maka tanggal 1 dan
tanggal 20 setelah tanggal 10 yakin suci (mampet). Adapun tanggal 2-5 mungkin
haid dan mungkin masih suci (mampet), tapi tak mungkin sudah suci (mampet).
Adapun tanggal 7-10 ada 3 kemungkinan, yaitu mungkin masih haid, mungkin sudah suci
(mampet) dan mungkin masih suci (mampet).
Dalam waktu yang mungkin sudah suci (mampet), yaitu pada tanggal
7-10 dalam contoh itu, wajib mandi besar setiap mau mengerjakan shalat. Adapun
waktu yang tidak ada kemungkinan suci (mampet), yaitu pada tanggal 2-5 wajib
ngambil wudlu’ pada setiap mau mengerjakan shalat. Apabila tanggal 6 yakin
haid, jadi waktu yakin suci (mampet) dihukumi suci (mampet). Dan pada waktu
yakin haid dihukumi haid. Adapun waktu kemungkinan dihukumi mutahayyirah
(bingung). Maka bersesuci (mampet) (berwudlu’ dan mandi besar) harus nunggu
waktu shalat.
G.
Mutahayyirah
Mustahadlah yang sudah
pengalaman haid dan suci (mampet) serta lupa terhadap lama haid sebelum istihadlah,
maka selamanya harus hati-hati. Jadi, taloknya wanita itu dan ibadahnya yang
harus ada niat di dalamnya, seperti: shalat dan puasanya dihukumi seperti
wanita suci (mampet).
Adapun hukum dalam menyentuh al-Quran dan bercumbu rayu dengan
anggota badannya antara pusar dan lututnya dihukumi seperti wanita haid
(diharamkan). Haram juga membaca al-Quran, kecuali bacaan dalam shalat, maka
diperbolehkan, walaupun lebih dari bacaan yang wajib dibaca dalam shalat,
seperti: setelah membaca surat al-Fatihah membaca surat-suratan.
Di waktu mungkin haidnya suci (mampet), maka wajib adhus
(mandi besar) setiap kali mau mengerjakan shalat pada masuk waktunya. Tetapi
apabila wanita itu ingat waktu bersihnya haid yang sebelumnya, seperti: waktu
bersihnya biasanya pada waktu maghrib, maka yang diwajibkan adhus itu
hanya setiap mau mengerjakan shalat maghrib. Di waktu shalat selain maghrib
hanya diwajibkan ambil wudhu’, begitu seterusnya selama keluar darah istihadlah.
Apabila istihadlah mutahayyirah ini kebetulan bulan Ramadlan
atau ikut sebagian bulan Ramadlan, maka wajib berpuasa 2 bulan (sebulan dan 30
hari bulan Syawwal). Puasanya yang pasti sah puasanya hanya 14 hari di setiap
bulan, sebab bersihnya haid sampai 15 hari, mulai pertengahan tanggal 1, maka
semestinya bersihnya haidnya itu pada pertengahan tanggal 16. Jadi, yang pasti
sah puasanya hanya dari tanggal 17 sampai 30 (14 hari). Puasa yang pasti sah
dalam 2 bulan itu hanya 28 hari (sebulan kurang 2 hari). Untuk mencukupi
kekuranya yang 2 hari itu apabila masih mutahayyirah, maka harus
berpuasa 3 hari di awal tanggal 17, seperti tanggal 1, 2 dan 3. Dan berpuasa 3
hari lagi di akhir tanggal 18, seperti tanggal 16, 17 dan 18. Karena yang pasti
sah dalam 6 hari itu hanya 2 hari.
Apabila haidnya mulai tanggal 1, maka 15 hari pertengahan tanggal
16, jadi yang sah tanggal 17 dan 18. Apabila haidnya pertengahan tanggal 2,
maka 15 harinya adalah tanggal 17, jadi yang
sah pada tanggal 18 dan tanggal 1. Apabila haidnya mulai pertengahan tanggal
3, maka 15 hari suci (mampet) pertengahan tanggal 18, jadi yang sah adalah
tanggal 1 dan 2.
Apabila haidnya tanggal 16, maka bila 15 hari sudah pasti sampai
pertengan tanggal 1, jadi yang sah adalah tanggal 2 san 3. Apabila haidnya
tanggal 17, maka suci (mampet)nya pada pertengahan tanggal 2, jadi yang sah
adalah tanggal 3 dan tanggal 16. Apabila haidnya tanggal 18, maka suci (mampet)nya
pertengahan tanggal 3, jadi yang sah tanggal 16 dan 17.
Kejadian yang seperti ini bila pada bulan Syawwal puasanya pas 30
hari, jika tidak, maka hitungan 18 hari ini harus mundur sekiranya mencukupi
atau meng-paskan 30 hari pada bulan Syawwal (bila bulan Syawwal 29 hari, maka
harus mundur sehari), juga yang harus nambah 6 hari adalah bagi wanita yang tak
terbiasa suci (mampet) pada waktu malam hari, bila sudah terbiasa, maka tidak
usah nambah, cukup berpuasa pada bulan Ramadlahn dan 30 hari pada bulan
Syawwal.
Apabila darahnya putus-putus, maka putusnya darah ini bagi wanita
ini ada 2 kewajiban, yaitu: 1. Harus adhus (mandi besar) untuk putusnya
yang pertama, dan yang ke 2. Harus wudlu’ untuk putusnya yang ke dua.
BAB III
MA YAHRUMU BI AL-HAIDI WA AL-NIFASI[19]
Hal-hal yang diharamkan bagi wanita yang mengalami haid dan nifas
ada 12 hal, yaitu:
1.
Shalat,
2.
Thawaf,
3.
Puasa,
Tiga hal di atas berlaku baik wajib (shlat, thawaf dan puasa)
ataupun sunah, kecuali bagi orang yang tidak menemukan air sama sekali untuk adhus
dan tidak menemukan demu untuk ber-tayammum (sebagai ganti adhus)
di waktu suci (mampet) haidnya, maka tetap wajib melaksanakan shalat. Tetapi
bila menemukan salah satunya, air atau demu, maka wajib meng-godla’
(mengganti) shalatnya yang tanpa adhus dan tayammum.
Begitu juga puasanya yang bolong karena ada halangan haid atau
nifas, wajib diganti.
4.
Sujud
syukut atau pun sujud tilawah,
5.
Menyentuh
sesuatu yang ditulisin al-Quran untuk dibaca walau pun hanya sekalimat,
Kecuali tulisan itu untuk hiasan atau untuk tabarruk[20] atau untuk azimat, kecuali tulisan itu lengkap se-al-Quran,
seperti kulit tembelan al-Quran.
6.
Menyentuh
kulit al-Quran yang masih bersambung,
Juga haram menyentuk sobekan yang masih dikatakan kulit al-Quran
menurut pendapat Imam Romly. Menurut Imam Ibnu Hajar, wanita haid dan nifas
tidak haram menyentuh sobekan kulit al-Quran.
Haram juga menyentuh kertas al-Quran walau pun tidak ada tulisannya
dan memakai penghalang. Begitu juga haram menyentuh tempat al-Quran yang dibuat
memang khusus untuk tempat al-Quran dan di waktu ada al-Qurannya.
7.
Membawa
al-Quran,
Kecuali ada tafsirnya yang lebih banyak dari al-qurannya, atau
dibawa berbarengan dengan barang-barang dengan niat membawa barang-barang
tersebut. Walau barang-barangnya lebih kecil dibanding al-Quran menurut Imam
Romly, seperti jarum dan sebagainya. Menurut Imam Khatib, dengan syarat
barang-barang itu harus lebih besar dibandingkan dengan al-Quran. Diperbolehkan
membuka al-Quran dengan menggunakan alat, asalkan lembaran al-Quran itu tidak
melekat pada alat tersebut. Dan tidak boleh menghalangi (melarang) remaja yang
baligh membawa al-Quran untuk belajar, walau remaja itu dalam keadaan junub.
8.
Diam
di dalam masjid walau hanya sebentar, dan walau hanya lewat,
Termasuk masjid adalah ranting pohon yang tumbuh di dalam masjid,
walau pun ranting yang ditempati itu ada di luar masjid, atau pohon itu di luar
masjid, tapi ranting yang ditempati itu ada di pintu masjid, maka haram juga
menempatinya. Dan haram juga menempati tempat yang bersambung dan diwaqafkan
kepada orang untuk dijadikan tempat shalat.
9.
Lewat
di dalam masjid bila kuatir darahnya menetes di dalamnya, kalau tidak kuatir,
diperbolehkan dengan hukum makruh.
10.
Membaca
al-Quran dengan niat membaca kalam qodim, kalau niat dzikir, tidak
diharamkan.
11.
Di
thalak,
12.
Bersenang-senang, saling sentuh antara kulit
busar dan lutu, walau tidak sampai bersenggama. Haram juga kalau sampai
bersenggama, walau pu memakai penghalang (kondom).
BAB IV
SHALTU AL-HAID WA AL-NIFASI
Apabila
permulaan haid atau nifas setelah masuknya waktu shalat sekedar cukup bersesuci
(mampet) yang tidak bisa dikerjakan sebelum mashuknya waktu shalat, dan belum
mengerjakan shalat, maka wanita itu wajib mengganti shalatnya waktu permulaan
haid atau nifasnya. Jika shalatnya bisa dijamak dengan shalat sebelumnya,
seperti:
Permulaannya di
waktu shalat Ashar atau Isya’, dan lewatnya waktu Ashar dan Isya’ dari
permulaannya haid atau nifas, maka kira-kira cukup untuk 2 shalat, dan shalat
waktu sebelumnya belum dikerjakan, karena gila di waktu sebelumnya, kemudian
sembuh diwaktu permulaan haidnya atau waktu shalat sebelumnya masih belum
mencukupi terhadap kewajiban Islam. Karena pada waktu sebelumnya masih belum
baligh atau belum Islam, kemudian baligh atau masuk Islam pada waktu permulaan
haid, maka shalatnya dan shalat diwaktu sebelumnya (Dzuhur dan Maghrib) wajib
diganti.
Apabila
permulaannya di waktu Dzuhur, Maghrib atau Shubuh, dan setelah masuk waktu
shalat yang cukup sekedar shalat dan bersesuci (mampet) yang tidak boleh
dikerjakan sebelum masuknya waktu shalat, dan pada waktu permulaannya belum
shalat, maka cukup mengganti shalat pada
permulaan haid atau nifasnya saja. Adapun pada waktu suci (mampet)nya, bila suci
(mampet) pada waktu shalat Ashar atau Isya’ dan masih nututin sekedar takbiratu al-ihram, maka wajib mengganti shalatnya di waktu suci
(mampet)nya dan di waktu permulaannya, bila waktu Dzuhur, Maghrib dan Isya’,
maka wajib mengganti shalatnya hanya di waktu suci (mampet)nya.
BAB V
MA YAJIBU ‘ALA AL-MUSTAHADLAH
Kewajiban
wanita mustahadlah setelah masuk waktu shalat harus mensuci (mampet)kan
vaginanya dari najis yang tidak di-ma’fu[21], kemudian disumbat dari kapas atau sejenisnya, seperti softek dan
lain sebagainya. Dan sumbatnya ini harus masuk kedalam vagina seluruhnya, kalau
masih kelihatan keluar, maka shalatnya tidak sah, karena masih membawa barang
najis. Apabila darahnya tembus dari sumbatnya, maka wajid diikat memakai kain
atau sejenisnya.
Apabila
menyakitkan ketika disumbat, karena darahnya sangat panas, atau wanita itu
sedang berpuasa, maka tidak wajib disumbat, karena sumbat itu membatalkan
puasa. Setelah disumbat, wanita itu harus bersegera ambil wudlu’ atau tayammum,
kemudian shalat. Kewajiban mustahadlah seperti itu seterusnya, setiap
mau mengerjakan shalat pada masuknya waktu shalat walau suci (mampet)nya belum
dipakek mengerjakan shalat, maka wajib mengulang kewajiban-kewajiban tersebut.
Ada 3 hal yang mewajibkan
mengulang kewajiban-kewajiban mustahadlah ketika mau mengerjakan shalat,
antara lain:
1.
Sebab
hadats sebelum dipakek memengerjakan shalat,
2.
Setelah
berwudlu’ telat memengerjakan shalat,
Hal ini bukan karena kemaslahatan shalat, seperti: menjawab
azan, menjawab iqamah dan menunggu berjamaah. Jadi, kalau untuk
kemaslahatan shalat, maka tidak wajib mengulang kewajiban-kewajiban tersebut.
3.
Tembusnya
darah dari sumbatnya,
Hal ini karena ikatannya kurang erat sewaktu mengikatnya, atau
talinya itu mutanajjis[22] dengan najis yang tidak di-ma’fu, maka wajib diganti dengan
sumbat dan tali yang suci (mampet).
Apabila setelah
mengerjakan kewajiban-kewajiban tersebut, kemudian darah istihadlah-nya
berhenti keluar, dan masih menututi waktu sekedar untuk mengerjakan shalat dan
bersesuci (mampet), maka wajib bersesuci (mampet) lagi, dan wajib juga
mengganti shalatnya yang dikerjakan dengan sesuci (mampet) yang digagalkan.
***
Sudah selesai apa yang menjadi menjadi
keinginan (mengarang risalah ini) oleh salah satu Ulama yang bernama Muhammad
Habib bin KH. Muhammad Rais, yang bertempat tinggal di kampung Kalabaan Guluk-Guluk
Sumenep Madura - Jawa Timur.
Risalah ini
tammat dengan pertongan dan ridlo Allah ta’ala, perlu diingat bahwa
pengarang sangat bersyukur alhamdu li al-AllahI atas tersusunnya risalah
(nadzam) ini, yang dikarang oleh orang yang sangt bodoh. Semoga
melimpahkan atau memberi hidayah atas kebaikan dan kemurahan-Nya. Dan Allah
juga yang memberi hidayah atas barokah para guru dan ustadz, yang telah
mentransfer pengetahuannya kepada kita semua, sampai pada jalan keberuntungan
hidup di dunia dan di akhirat. Semoga risalah (nadzam) ini yang
menerangkan: macam-macamnya darah, menjadi pelebur dosa dan semoga bermanfaat
terhadap saudara semua, dan semoga ikhlas selamanya.
Saya mengakhiri
risalah ini dengan menghaturkan shalawat serta salam kepada junjungan kita,
yaitu Muhammad ibni Abdillah, keluarga dan para sahabatnya yang sama-sama
memyandang sifat sempurna, Amien Ya Rabba al-‘alamin.
Sebuah Informasi:
Risalah ini adalah karangan orang dangkal ilmunya, dan tidak sempat
dikoreksi dan mengkoreksikan kepada guru-guru, maka siapa saja yang menemukan
kesalahan yang berarti dari saya, mohon
dengan rendah hati untuk memberi tahu kepada saya bila suatu saat bertemu dengan
saya, yang ada di gambar di bawah ini. Atau bisa mengirim surat kepada Idris
yang disebut di akhir risalah ini. Dan tidak boleh menfoto copy risalah ini,
tanpa seizin pengaran.
[1] Fardu ‘ain: Kewajiban invidu.
[2] Muhrim: Orang yang haram dikawin dan
tidak membatalkan wudlu’ ketika bersentuhan.
[3] Terus-menerus: Seandainya vaginanya di
turuh kapas di dalamnya, maka kapas itu sampai berlumuran darah.
[4] Muharram: Bulan pertama Hijriyah, yang
permulaan penghitungannya pada Nabi Muhammad hijrah Yatsrib (Madinag al-Munawwarah).
[5]
Putusnya: Darah berhenti keluar
dari tanggal 6 sampai tanggal 10 Januari.
[6] Al-Laqthu: Menurut pendapat Jumhuru
al-‘Ulama’ (mayoritas atau kebanyakan ulama).
[7]
Al-Sahab: Menurut pendapat Minuritas (sedikit) ulama.
[8] Kalau terjadi seperti ini, wanita itu tidak
mengalami masa nifas.
[9] Wanita yang mula-mula keluar darah dan dapat
membedakan darahnya.
[10] Haidnya cuma 5 hari.
[11]
Wanita yang mula-mula keluar darah dan tidak dapat membedakan darahnya.
[12]
Wanita yang sudah pengalaman (sudah biasa) dan dapat membedakan darahnya.
[13]
Mustahadlah: Wanita yang keluar darah lebih dari batas paling lamanya
darah haiad atau nifas.
[14] Wanita yang sudah pengalaman (sudah biasa)
dan tidak dapat membedakan darahnya.
[15] Buku aslinya memakai bulan Hijriyah, seperti:
Muharram, Shafar dan Rabi’u al-Awwal.
[16] Mulai tanggal 4 dan 6 dan sampai tanggal 15
pada bulan itu.
[17]
Wanita yang sudah terbiasa haid yang
tidak dapat membedakan darahnya dan lupa terhadap lama keluarnya.
[18] Wanita yang sudah terbiasa haid yang tidak
dapat membedakan darahnya dan lupa terhadap waktu keluarnya.
[19] Hal-hal yang diharamkan bagi seorang wanita
yang lagi haid dan nifas.
[20] Tabarruk: mengharap barokah.
[21] Tidak di-ma’fu: tidak diampuni (wajib
disuci (mampet)kan).
[22] Mutanjjis: terkena najis