Rabu, 04 Juni 2014

DARAH DAN PERMASALAHANNYA (Petunjuk Bagi Wanita)






DARAH DAN PERMASALAHANNYA
Petunjuk Bagi Wanita
















Penyusun dengan Bahasa Madura Khat Pegun:
KH. M. Habibullah bin M. Rois
(alm. Pengasuh PP. Al-Is’af Sumenep)
Alih bahasa Indonesia:
Abdurrahman Khazin



KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
Saya menulis buku ini didahului dengan menyebut nama Tuhan yang Maha Penyayang. Segala puji hanya milik Allah selamanya. Shalawat serta salam  semoga senantiasa tetap tercucur deraskan kepangkuan sang kekasih Allah; baginda nabi besar Muhammad, para keluarganya dan sahabat-sahabatnya yang terbaik selagi air masih mengalir di berbagai sungai.
 Buku (risalah) ini ditulis dengan hanya sebatas pemahaman saya, apabila para pembaca menemukan kekurangan dan kesalahan, mohon koreksinya.





















PENDAHULUAN

Semua perempuan (wanita) yang sudah mukallaf (baligh) diwajibkan belajar hal-hal yang dituntut syariah untuk diketahui, lebih-lebih terhadap hukum-hukum yang berkaitan dengan darah yang keluar dari vaginanya. Seorang suami berkewajiban mengajari istrinya apabila mengetahui (paham) terhadap hal-hal yang berkaitan dengan darah yang keluar dari vagina istrinya, juga hal-hal yang dituntut syariah Islam untuk diketahui.
Apabila seorang suami tidak mengetahui (tidak paham), maka istrinya wajib keluar rumah mencari guru yang bisa mengajari hal-hal yang wajib diketahui umat Islam secara perorangan (fardu ‘ain[1]), walaupun sampai ke tempat yang jauh, dan seorang suami tidak boleh dan bahkan haram menghalangi istrinya belajar. Kecuali suami itu bersedia belajar dan kemudian siap mengajari istrinya dengan benar dan tepat, dan dia jujur, ulet dan bukan orang pelupa.
Apabila seorang istri keluar rumah bukan karena ingin belajar hal-hal yang wajib diketahui (fardu ‘ain) seperti: berpidato, mengajar, berdzikir dan lain sebagainya, maka haram (berdosa). Kecuali dia diidzini oleh suaminya dan harus membawa teman yang muhrim[2], maka hal itu diperbolehkan.











BAB I
DARAH DAN MACAM-MACAMNYA

            Ada 3 (tiga) macam darah yang biasa keluar dari vagina wanita, antara lain sebagai berikut, yaitu: darah haid (faktor kebiasaan), darah nifas (karena melahirkan) dan darah istihadlah (penyakit).

A.      Darah Haid
1.         Definisi
Darah haid adalah darah yang keluar dari vagina (farji) wanita karena faktor kebiasaan, bukan karena melahirkan, atau bahkan bukan karena faktor penyakit dan lain sebagainya.
Darah ini keluar dari vagina wanita yang genap berumur 9 tahun, atau belum sampai 9 tahun, tapi tidak lebih dari 15 hari. Apabila permulaan keluarnya darah kurang dari 20 hari sampai 15 hari, maka 5 hari dari permulaan keluarnya darah itu dikatakan (dihukumi) darah penyakit (istihadlah), dan 10 hari berikutnya dikatakan darah haid. Karena setelah darah penyakit yang 5 hari tadi, 15 hari sisanya itu adalah batas minimum permulaan keluarnya darah haid bagi wanita yang berumur 9 tahun kurang 15 hari.
2.         Syarat
Syarat darah haid adalah keluarnya darah ini harus tidak kurang dari 24 jam dalam jangka waktu 15 hari. Dan dari bersih (mampet/suci (mampet)) nya darah haid yang sebelumnya ke haid berikutnya (dikatakan masa suci (mampet)) harus tidak kurang dari 15 hari 15 malam.
3.         Pemasalahan atau Masalah Waktu
Walaupun keluar darah sampai beberapa hari, namun setiap harinya hanya keluar darah selama 1 jam, maka semua darah yang keluar ini dihukumi darah penyakit (istihadlah), karena darah yang keluar hanya 15 jam dalam jangka waktu 15 hari. Hal ini tidak sampai 24; tidak mencukupi syarat. Sebaliknya, walau darah itu hanya keluar selama sehari-semalam, namun darahnya keluar terus-menerus[3], maka dihukumi haid, karena darah yang keluar mencukupi syarat; yaitu 24 jam.
Begitu juga tidak dikatakan (tidak dihukumi) haid, apabila permulaan keluarnya darah dari suci (mampet)nya haid yang sebelumnya masih belum sampai 15 hari. Contoh: “suci (mampet) (mampet) nya haid yang sebelumnya jatuh pada tanggal 6 Januari atau bulan Muharram[4], tanggal 18 pada bulan itu juga keluar darah lagi sampai tanggal 25, maka mulai pada tanggal 18 sampai 21 dihukumi (dikatakan) darah istihadlah untuk mencukupi masa suci (mampet) selama 15 hari dari haid sebelumnya. Sedangkan sisa darah dari tanggal 22 sampai 25 Januari dihukumi darah haid apabila mencukupi syarat (darah yang keluar sampai 24 jam dan tidak lebih dari 15 hari)”.
Apabila darah yang keluar putus-putus, namun pada hitungan sampai 15 hari dari berhenti keluar (suci (mampet)) atau selumnya, maka darahnya dihukumi haid semua. contoh: “keluar darah pada tanggal 1 Januari sampai tanggal 6 darahnya berhenti, dan kaluar lagi pada tanggal 10 sampai tanggal 15 Januari darahnya berhenti lagi sampai akhir bulan, maka darahnya dihukumi darah haid. Adapun putusnya[5] darah itu menurut pendapat al-Laqthu[6] adalah dihukumi suci (mampet). Akan tetapi menurut pendapat al-Sahab[7]adalah pendapat yang Mu’tamad (paling kuat dan berbobot) dihukumi darah haid”.
Adapun darah yang keluar di antara anak kembar apabila kebetulan wanita itu sedang haid, maka dihukumi haid. Apabila tidak sedang haid, maka darah yang keluar dihukumi darah istihadlah.
Begitu juga darah yang keluar sebelum anak dilahirkan, atau bersamaan dengan lahirnya anak itu apabila darah itu bersambung dengan darah haid sebelum anak dilahirkan, maka dihukumi darah haid. Apabila tidak bersambung (ada jeda atau pemisah), maka dihukumi darah istihadlah dan wajib mengganti shalat dan puasa yang ditinggal, karena darah itu darah istihadlah.
Darah yang keluar sesudah nifas (melahirkan) yang genap 60 hari dan darah itu putus (berhenti sebentar), maka darah itu dihukumi haid apabila mencukupi syarat. Atau darah nifas belum sampai 60 hari, tapi darahnya putus (berhenti keluar), kemudian keluar darah lagi, maka darah yang keluar itu dihukumi haid.
4.         Waktu atau batas masa keluarnya darah haid
Batas masa atau waktu wanita haid yang sudah jadi kebiasaan adalah 6 hari atau 7 hari (1 minggu). Dan ada juga di luar kebiasaan yang disebutkan di atas.

B.     Darah Nifas
1.      Definisi
Darah nifas adalah darah yang keluar dari vagina wanita yang melahirkan atau setelah rahimnya kosong (karena habis melahirkan).
2.      Permasalahan yang berkaitan dengan shalat dan puasa
Permulaan keluarnya darah ini sebelum sampai 15 pasca melahirkan. Jadi, apabila setelah melahir tidak keluar darah sama sekali, sampai dapat 10 hari, kemudian kelauar darah walau hanya setetes, maka darah ini di hukumi nifas, asalkan keluar darahnya itu tidak sampai 60 hari setelah melahirkan.
Adapun hari-hari yang tidak ada darah dari sehabis melahirkan sampai permulaan keluarnya darah nifas dihukumi suci (mampet). Jadi, wanita itu wajib shalat, puasa Ramadlan dan halal di-wathi’ (digauli) dengan syarat: setelah melahirkan tidak keluar darah sama sekali sampai waktu permulaan keluarnya darah nifas sebelum sampai 15 hari setelah melahirkan. Apabila setelah melahirkan keluar darah walau hanya setetes, maka apabila darah itu putus, dan putusnya itu tidak sampai 15 hari, maka dihukumi nifas, asalkan tidak lebih 60 hari.
Apabila putusnya darah ini sampai 15 hari, maka sebelum putusnya darah itu dikukumi nifas, dan darah yang keluar sesudah putusnya darah itu dihukumi haid. Jadi, apabila tidak keluar darah sama sekali sampai lebih dari 15 hari, dan kemudian keluar darah setelah itu, maka darah itu dihukumi darah haid[8], asalkan mencukupi syarat-syarat haid.
Apabila putusnya berada di tengah-tengah darah nifas yang tidak sampai 15 hari, maka menurut pendapat Jumhuru al-‘Ulama’ dihukumi suci (mampet) (wajib shalat dan puasa), dan menurut pendapat minuritas ulama dan pendapat yang mu’tamad (pendapat yang kuat dan kokoh) darah yang keluar itu termasuk atau dihukumi darah nifas.
3.      Waktu atau batas masa keluarnya darah nifas
Jangka waktu keluarnya darah nifas yang sudah jadi tradisi wanita adalah selama 40 hari, dan paling lamanya adalah 60 hari. Apabila lebih dari 60 hari, dan kemudian pas sampai 60 hari putus walaupun hanya sebentar (lahdzah), maka darah yang keluar sesudah putusnya darah ini dihukumi haid, asalkan mencukupi syara-syarat haid. Apabila darah itu tidak putus (darah yang keluar lebih dari 60 hari) menurut pendapat yang mu’tamad, maka dihukumi haid yang lebih dari 15 hari, dalam artian, selebihnya darah yang keluar dari batas paling lamanya nifas, itu dihukumi darah penyakit (istihadlah), maka wajib shalat dan puasa. Berikut penjelasan darah tersebut.

C.    Darah Istihadlah
1.      Definisi
Darah istihadlah adalah darah yang keluar dari vagina wanita yang bukan darah haid dan darah nifas.
Apabila istihadlah karena haid dan nifasnya lebih dari batas paling lama waktunya, maka hukumnya ada 7 macam, seperti yang akan diulas penjelasannya di bawah ini.
2.      Warna-warna darah
Adapun macam-macam warna darah yang keluar dari vagina wanita ada 5 macam warna, antara lain:
a)        Darah yang paling kuat sifatnya adalah warna hitam,
b)        Kemudian darah yang berwarna merah,
c)        Darah yang berwarna merah muda,
d)       Darah yang berwarna kuning, dan
e)        Darah yang paling lemah sifatnya adalah berwarna keruh.
Terkadang warna darah yang macam 5 disertai dengan (darah kental), terkadang disertai dengan bau, dan terkadang juga bersamaan antara (darah kental) dan bau. Darah yang lebih banyak sifatnya adalah darah yang paling kuat sifatnya.
Seperti darah warna merah disertai bau, maka darah ini tingkatannya lebih kuat dari pada darah cuma warna merah. Darah warna merah disertai bau ini sama tingkatnya dengan warna hitam. Darah warna merah bau sama tingkatnya dengan darah warna merah (darah kental), maka yang anggap paling kuat sifatnya adalah yang lebih awal keluar.


















BAB II

Pada bab ini akan membahas masalah-masalah darah yang keluar dari vagina wanita, baik bagi perempuan yang baru keluar darah (mula-mula keluar darah) atau bagi wanita yang sudah biasa keluar darah. Ada 7 masalah yang harus diperhatikan bagi seorang wanita, antara lain:

A.    Mubtada’ Mumayyizah[9]
1.         Definisi
Mubtada’ Mumayyizah adalah wanita yang permulaan keluar darah dari vaginanya yang langsung lebih dari 15 hari darahnya 2 macam (kuat dan lemah). Seperti hari pertama berwarna hitam dan sehari kemudian berwarna merah bergantian selama 5 hari, sesudah 5 hari darah yang keluar berwarna merah sampai akhir 1 bulan, maka yang dihukumi haid adalah cuma sampai terakhir keluarnya darah warna hitam (kuat)[10].
2.         Syarat-syarat
Dalam contoh di atas, hanya 5 hari yang dihukumi haid. Adapun sesudahnya dihukumi darah istihadlah dengan syarat:
a)        Darah yang sifatnya kuat tidak kurang dari 24 jam sebelum 15 hari.
b)        Darah yang sifatnya lemah yang keluarnya terus-menerus (tidak bergantian lagi dengan darah yang sifat kuat) ini tidak kurang dari 15 hari dari haid sesudahnya.
c)        Antara darah yang sifatnya kuat dan yang lemah harus tidak dipisah suci (mampet) (tidak haid) sampai 15 hari atau lebih.
d)       Darah yang sifatnya kuat harus tidak lebih dari 15 hari.
Apabila keluar darah warna hitam 5 hari, setelah itu keluar darah merah 15 hari, sesudah itu ganti lagi berwarna hitam selama 5 hari, maka darah yang berwarna hitam 5 hari paling depan dihukumi haid, kemudian darah yang keluar selama 15 hari dihukumi istihalah. Darah hitam 5 hari di belakang dihukumi haid yang lain (haid berikutnya), cuma dalam istihadlah paling depan dihukumi suci (mampet).
Menunggu sampai lebihnya keluarnya darah dari 15 hari. Apabila dalam istihadlah setelahnya, maka kemudian wajib adhus (mandi besar: mandi karena haid atau nifas) setelah darah kuat yang 5 hari yang sama sama dengan contoh di atas. Apabila darah yang lemah  tidak sampai 15 hari, di tengah-tengah darah kuat yang tidak melebihi 15 hari, maka hal ini seperti hukumnya putus-putusnya darah haid (dalam hal ini ada dua pendapat seperti yang telah dijelaskan di depan).

B.     Mubtad’ Ghairu Mumayyizah[11]
1.         Definisi
Mubtad’ Ghairu Mumayyizah adalah wanita yang mula-mula keluar darah dari vaginanya yang langsung lebih dari 15 hari dan tidak bisa membedakan darah haid atau tidaknya, karena darahnya yang keluar tidak bermacam-macam, atau tidak tau macam-macamnya darah, atau pun tidak mencukupi syarat-syarat ukuran warna-warna darah, maka yang dihukumi haid hanya sehari semalam dari hari permulaannya atau selama 24 jam.
2.         Pemasalahan
Dipermulaan istihadlah ini, disunnahkan menunggu darah yang keluar dari vagina wanita itu lebih 15 hari, kemudian adhus (mandi besar: mandi karena haid atau nifas), dan meng-gadlo (mengganti) shalat dan puasanya setelah sehari semalam atau 24 jam (syarat paling sebentarnya darah haid), ketika sudah diketahui permulaan keluarnya darah.
Apabila tidak diketahui permulaan keluarnya, maka hukumnya seperti wanita itu bingung kapan permulaan keluarnya (penjelasannya akan dipaparkan di bab berikutnya). Adapaun di bulan berikutnya, wanita itu harus langsung adhus sehabis keluar selama sehari semalam atau 24 jam.


C.    Mu’tadah Mumayyizah[12]
1.         Definisi
Mustahadlah[13] yang sudah pengalaman haid dan suci (mampet) sebelum istihadlah, dan waktu istihadlah-nya ini darahnya 2 warna (darah yang bersifat kuat dan lemah) dan mencukupi syarat ukuran bengantian darahnya, maka darah yang kuat ini dihukumi haid walau berbeda dengan apa yang telah wanita itu pernah alami.
2.         Permasalaha
Seperti sebelum istihadlah darah haidnya 5 hari. Setelah darah istihadlah kemudian keluar darah hitam 10 hari (darah kuat), kemudian ganti darah merah (lemah) sampai satu bulan, maka yang dihukumi darah haid adalah darah hitam yang 10 hari, meskipun berbeda dengan kebiasaannya (5 hari).
Apabila kebiasaannya itu memang 5 hari, namun darah itu terus keluar sampai 23 hari, kemudian berganti darah warna hitam 6 hari, kemudian berganti lagi berwarna merah lagi, maka hukumnya 5 hari kebiasaannya itu adalah haid. Darah merah yang keluar lebih dari kebiasaannya (18 hari) dihukumi istihadlah, kemudian darah hitam 6 hari sisanya dihukumi haid lagi, karena kuatnya sifat darah itu dan mencukupi jangka waktu paling sedikitnya masa suci (mampet), bahkan lebih dari itu, sampai 17 hari.

D.    Mu’tadah Ghairu Mumayyizah al-Dzakirah[14]
Mustahadlah yang sudah pengalaman haid dan suci (mampet), dan setelah istihadlah dia tidak bisa membedakan pergiliran darahnya, karena darahnya tidak bermacam-macam atau tidak mencukupi syarat untuk mengembalikan warna darahnya, seperti: setiap harinya saling bergantian antara darah yang berwarna hitam dan merah (sehari hitam dan merah di hari yang lain) sampai akhir bulan. Tetapi wanita itu masih ingat pada waktu dan lamanya haid yang sebelumnya, seperti: permulaan haid sebelumnya tanggal 1 sampai tanggal 3 (haidnya selama 3 hari), haid ini sekali saja atau memang biasa lama haidnya Cuma 3 hari. Apabila suatu ketika darahnya sampai lebih 15 hari, maka darah yang dihukumi haid adalah membandingkan pada haid sebelumnya (kebiasaannya haidnya 3 hari). Adapun sisa darahnya dihukumi istihadlah.
Apabila haid yang sebelumnya sudah lebih dari 2 kali dan lamanya tidak sama, seperti: “Berbeda dengan yang 3 hari, berbeda dengan yang 5 hari, berbeda dengan yang 7 hari dan teratur gilirannya”. Keluarnya darah ini bisa dijadikan patokan apabila gilirannya sudah sampai 2 putaran atau lebih. Seperti: “Pada bulan Januari haid 3 hari, bulan Februari haid 5 hari dan bulan Maret[15] haid 7 hari dan permulaannya sama-sama tanggal 1, maka hal ini masih belum dijadikan patokan. Kecuali apabila pada bulan April hail lagi selama 3 hari, bulan Mei haid 5 hari dan bulan Juni haid lagi 7 hari, maka hal ini bisa dijadikan patokan di bulan berikutnya.
Apabila di bulan Juli haid dan darahnya sampai lebih dari 15 hari, maka darah yang dihukumi haid hanya 3 hari, karena menempati giliran yang haid 3 hari. Pada bulan Agustus haid dan darahnya juga lebih 15 hari, maka yang dihukumi haid hanya 5 hari, karena menempati giliran haid yang 5 hari, dan begitu juga seterusnya.
Adapun selebihnya dari 3 dan 5 hari tadi dihukumi darah istihadlah. Dan pada waktu istihadlah pertama kali adalah disunnahkan nunggu darahnya sampai 15 hari, kemudian mandi besar dan mengganti shalatnya dari mulai darah yang tidak dihukumi haid[16]. Dan pada bulan-bulan berikutnya harus mandi besar sesudah darah yang dihukumi haid”.
***
Wanita yang biasa haid (mu’tadah) yang kebiasaannya berbeda, seperti contoh diatas dan sudah sampai 2 putaran atau lebih dan teratur, tapi wanita itu lupa terhadap haid sebelum istihadlah, maka yang dihukumi haid adalah waktu yang paling sedikit, seperti 3 hari pada waktu-waktu tersebut. Jadi di akhir 3 hari wajib mandi besar, karena darah sudah bersih. Dan juga pada waktu akhir 5 dan 7 hari sepeti contoh di atas adalah wajib mandi besar, karena lebih berhati-hati.
Begitu juga bila bermacam-macam lama haid sebelumnya dan sudah 2 putaran atau lebih, tetapi tidak teratur gilirannya, seperti: “Pada putaran perrtama; haid bulan pertama wanita itu haid selama 5 hari, bulan ke-2 haidnya 3 hari dan pada bulan ke-3 hainya 7 hari. Pada putaran ke-2; kemudian gilirannya berubah, bulan ke-4 haidnya 3 hari, bulan ke-5 haidnya 5 hari dan pada bulan ke-6 haidnya 7 hari. Wanita itu lupa pada giliran istihadlah yang sebelumnya, atau tidak sampai 2 putaran, kemudian istihadlah dan lupa juga terhadap lamanya istihadlah sebelumnya, maka darah yang dihukumi haid pada contoh ke-2 ini adalah waktu yang paling sedikit juga”.
Jadi haid sebelum istihadlah juga berbeda-beda dalam 3 macam, yang dihukumi haid adalah waktu yang palingsedikit, akan tetapi di waktu yang lebih ini, wajib mandi besar lagi, kerena lebih berhati-hati.
***
Wanita yang biasa haid (mu’tadah) yang kebiasaannya berbeda, seperti contoh diatas dan sudah sampai 2 putaran atau lebih dan teratur, wanita itu lupa terhadap gilirannya, tapi wanita itu ingat terhadap haid sebelum istihadlah, seperti: setelah 5 hari keluar darah istihadlah, maka yang dihukumi haid adalah darah yang keluar pas sebelum keluarnya darah istihadlah (5 hari). Sesudah keluarnya darah selama 7 hari harus mandi besar lagi, karena hati-hati. Akan tetapi sesudah keluarnya darah selama 3 hari tidak usah mandi, karena waktu atau masanya lebih sedikit.
Begitu juga ketika giliran keluaran darahnya tidak teratur, dan sampai 2 putaran, tapi wanita itu ingat terhadap darah yang keluar pas sebelum darah istihadlah, dalam artian seperti: istihadlah di bulan Februari lebih dari 15 hari, sedang haid sebelumnya bermacam-macam dan lupa terhadap gilirannya atau gilirannya ini tak teratur atau tidak sampai 2 putaran, tapi ingat pada lamanya haid di bulan sebelumnya (Januari), yaitu 5 hari.
Darah yang dibarengi istihadlah, maka darah yang dihukumi haid di waktu istihadlah (di bulan Februari), pada 3 contoh di atas, haid pada bulan Januari (5 hari) sisanya 5 hari itu dihukumi istihadlah yang wajib shalat.

E.     Mu’tadah Ghairu al-Mumayyizah al-Nasiyah Qadran[17]
Mustahadlah yang sudah pengalaman haid dan suci (mampet) yang ingat terhadap waktu haidnya, seperti: setiap tanggal 1 sudah dipastikan haid. Juga wanita itu lupa terhadap lama keluar darahnya, maka haidnya hanya sehari semalam (hanya pada waktu yakin haid: tanggal 1). Adapun tanggal 16 sampai akhir bulan adalah waktu yakin suci (mampet). Diantara 2 keyakinan ini (tanggal 1 dan 16-akhir bulan) ini, yaitu tanggal 2-15 hari dihukumi wanita yang mutahayyirah (bingung), jadi pada waktu itu wajib mandi besar setiap mau mengerjakan shalat fardu.

F.     Mu’tadah Ghairu al-Mumayyizah al-Nasiyah Waktan[18]
Mustahadlah yang sudah pengalaman haid dan suci (mampet) serta tidak dapat membedakan waktu kebiasaan haidnya sebelum istihadlah itu lupa, cuma ingat bahwa kebiasaan haidnya hanya 5 hari sebelum tanggal 10, dan wanita itu lupa terhadap permulaan keluarnya, tapi ingat bahwa tanggal 1 yakin belum haid, maka tanggal 1 dan tanggal 20 setelah tanggal 10 yakin suci (mampet). Adapun tanggal 2-5 mungkin haid dan mungkin masih suci (mampet), tapi tak mungkin sudah suci (mampet). Adapun tanggal 7-10 ada 3 kemungkinan, yaitu mungkin masih haid, mungkin sudah suci (mampet) dan mungkin masih suci (mampet).
Dalam waktu yang mungkin sudah suci (mampet), yaitu pada tanggal 7-10 dalam contoh itu, wajib mandi besar setiap mau mengerjakan shalat. Adapun waktu yang tidak ada kemungkinan suci (mampet), yaitu pada tanggal 2-5 wajib ngambil wudlu’ pada setiap mau mengerjakan shalat. Apabila tanggal 6 yakin haid, jadi waktu yakin suci (mampet) dihukumi suci (mampet). Dan pada waktu yakin haid dihukumi haid. Adapun waktu kemungkinan dihukumi mutahayyirah (bingung). Maka bersesuci (mampet) (berwudlu’ dan mandi besar) harus nunggu waktu shalat.



G.    Mutahayyirah
Mustahadlah yang sudah pengalaman haid dan suci (mampet) serta lupa terhadap lama haid sebelum istihadlah, maka selamanya harus hati-hati. Jadi, taloknya wanita itu dan ibadahnya yang harus ada niat di dalamnya, seperti: shalat dan puasanya dihukumi seperti wanita suci (mampet).
Adapun hukum dalam menyentuh al-Quran dan bercumbu rayu dengan anggota badannya antara pusar dan lututnya dihukumi seperti wanita haid (diharamkan). Haram juga membaca al-Quran, kecuali bacaan dalam shalat, maka diperbolehkan, walaupun lebih dari bacaan yang wajib dibaca dalam shalat, seperti: setelah membaca surat al-Fatihah membaca surat-suratan.
Di waktu mungkin haidnya suci (mampet), maka wajib adhus (mandi besar) setiap kali mau mengerjakan shalat pada masuk waktunya. Tetapi apabila wanita itu ingat waktu bersihnya haid yang sebelumnya, seperti: waktu bersihnya biasanya pada waktu maghrib, maka yang diwajibkan adhus itu hanya setiap mau mengerjakan shalat maghrib. Di waktu shalat selain maghrib hanya diwajibkan ambil wudhu’, begitu seterusnya selama keluar darah istihadlah.
Apabila istihadlah mutahayyirah ini kebetulan bulan Ramadlan atau ikut sebagian bulan Ramadlan, maka wajib berpuasa 2 bulan (sebulan dan 30 hari bulan Syawwal). Puasanya yang pasti sah puasanya hanya 14 hari di setiap bulan, sebab bersihnya haid sampai 15 hari, mulai pertengahan tanggal 1, maka semestinya bersihnya haidnya itu pada pertengahan tanggal 16. Jadi, yang pasti sah puasanya hanya dari tanggal 17 sampai 30 (14 hari). Puasa yang pasti sah dalam 2 bulan itu hanya 28 hari (sebulan kurang 2 hari). Untuk mencukupi kekuranya yang 2 hari itu apabila masih mutahayyirah, maka harus berpuasa 3 hari di awal tanggal 17, seperti tanggal 1, 2 dan 3. Dan berpuasa 3 hari lagi di akhir tanggal 18, seperti tanggal 16, 17 dan 18. Karena yang pasti sah dalam 6 hari itu hanya 2 hari.
Apabila haidnya mulai tanggal 1, maka 15 hari pertengahan tanggal 16, jadi yang sah tanggal 17 dan 18. Apabila haidnya pertengahan tanggal 2, maka 15 harinya adalah tanggal 17, jadi yang  sah pada tanggal 18 dan tanggal 1. Apabila haidnya mulai pertengahan tanggal 3, maka 15 hari suci (mampet) pertengahan tanggal 18, jadi yang sah adalah tanggal 1 dan 2.
Apabila haidnya tanggal 16, maka bila 15 hari sudah pasti sampai pertengan tanggal 1, jadi yang sah adalah tanggal 2 san 3. Apabila haidnya tanggal 17, maka suci (mampet)nya pada pertengahan tanggal 2, jadi yang sah adalah tanggal 3 dan tanggal 16. Apabila haidnya tanggal 18, maka suci (mampet)nya pertengahan tanggal 3, jadi yang sah tanggal 16 dan 17.
Kejadian yang seperti ini bila pada bulan Syawwal puasanya pas 30 hari, jika tidak, maka hitungan 18 hari ini harus mundur sekiranya mencukupi atau meng-paskan 30 hari pada bulan Syawwal (bila bulan Syawwal 29 hari, maka harus mundur sehari), juga yang harus nambah 6 hari adalah bagi wanita yang tak terbiasa suci (mampet) pada waktu malam hari, bila sudah terbiasa, maka tidak usah nambah, cukup berpuasa pada bulan Ramadlahn dan 30 hari pada bulan Syawwal.
Apabila darahnya putus-putus, maka putusnya darah ini bagi wanita ini ada 2 kewajiban, yaitu: 1. Harus adhus (mandi besar) untuk putusnya yang pertama, dan yang ke 2. Harus wudlu’ untuk putusnya yang ke dua.













BAB III
MA YAHRUMU BI AL-HAIDI WA AL-NIFASI[19]

Hal-hal yang diharamkan bagi wanita yang mengalami haid dan nifas ada 12 hal, yaitu:
1.         Shalat,
2.         Thawaf,
3.         Puasa,
Tiga hal di atas berlaku baik wajib (shlat, thawaf dan puasa) ataupun sunah, kecuali bagi orang yang tidak menemukan air sama sekali untuk adhus dan tidak menemukan demu untuk ber-tayammum (sebagai ganti adhus) di waktu suci (mampet) haidnya, maka tetap wajib melaksanakan shalat. Tetapi bila menemukan salah satunya, air atau demu, maka wajib meng-godla’ (mengganti) shalatnya yang tanpa adhus dan tayammum.
Begitu juga puasanya yang bolong karena ada halangan haid atau nifas, wajib diganti.
4.         Sujud syukut atau pun sujud tilawah,
5.         Menyentuh sesuatu yang ditulisin al-Quran untuk dibaca walau pun hanya sekalimat,
Kecuali tulisan itu untuk hiasan atau untuk tabarruk[20] atau untuk azimat, kecuali tulisan itu lengkap se-al-Quran, seperti kulit tembelan al-Quran.
6.         Menyentuh kulit al-Quran yang masih bersambung,
Juga haram menyentuk sobekan yang masih dikatakan kulit al-Quran menurut pendapat Imam Romly. Menurut Imam Ibnu Hajar, wanita haid dan nifas tidak haram menyentuh sobekan kulit al-Quran.
Haram juga menyentuh kertas al-Quran walau pun tidak ada tulisannya dan memakai penghalang. Begitu juga haram menyentuh tempat al-Quran yang dibuat memang khusus untuk tempat al-Quran dan di waktu ada al-Qurannya.
7.         Membawa al-Quran,
Kecuali ada tafsirnya yang lebih banyak dari al-qurannya, atau dibawa berbarengan dengan barang-barang dengan niat membawa barang-barang tersebut. Walau barang-barangnya lebih kecil dibanding al-Quran menurut Imam Romly, seperti jarum dan sebagainya. Menurut Imam Khatib, dengan syarat barang-barang itu harus lebih besar dibandingkan dengan al-Quran. Diperbolehkan membuka al-Quran dengan menggunakan alat, asalkan lembaran al-Quran itu tidak melekat pada alat tersebut. Dan tidak boleh menghalangi (melarang) remaja yang baligh membawa al-Quran untuk belajar, walau remaja itu dalam keadaan junub.
8.         Diam di dalam masjid walau hanya sebentar, dan walau hanya lewat,
Termasuk masjid adalah ranting pohon yang tumbuh di dalam masjid, walau pun ranting yang ditempati itu ada di luar masjid, atau pohon itu di luar masjid, tapi ranting yang ditempati itu ada di pintu masjid, maka haram juga menempatinya. Dan haram juga menempati tempat yang bersambung dan diwaqafkan kepada orang untuk dijadikan tempat shalat.
9.         Lewat di dalam masjid bila kuatir darahnya menetes di dalamnya, kalau tidak kuatir, diperbolehkan dengan hukum makruh.
10.     Membaca al-Quran dengan niat membaca kalam qodim, kalau niat dzikir, tidak diharamkan.
11.     Di thalak,
12.      Bersenang-senang, saling sentuh antara kulit busar dan lutu, walau tidak sampai bersenggama. Haram juga kalau sampai bersenggama, walau pu memakai penghalang (kondom).





BAB IV
SHALTU AL-HAID WA AL-NIFASI

Apabila permulaan haid atau nifas setelah masuknya waktu shalat sekedar cukup bersesuci (mampet) yang tidak bisa dikerjakan sebelum mashuknya waktu shalat, dan belum mengerjakan shalat, maka wanita itu wajib mengganti shalatnya waktu permulaan haid atau nifasnya. Jika shalatnya bisa dijamak dengan shalat sebelumnya, seperti:
Permulaannya di waktu shalat Ashar atau Isya’, dan lewatnya waktu Ashar dan Isya’ dari permulaannya haid atau nifas, maka kira-kira cukup untuk 2 shalat, dan shalat waktu sebelumnya belum dikerjakan, karena gila di waktu sebelumnya, kemudian sembuh diwaktu permulaan haidnya atau waktu shalat sebelumnya masih belum mencukupi terhadap kewajiban Islam. Karena pada waktu sebelumnya masih belum baligh atau belum Islam, kemudian baligh atau masuk Islam pada waktu permulaan haid, maka shalatnya dan shalat diwaktu sebelumnya (Dzuhur dan Maghrib) wajib diganti.
Apabila permulaannya di waktu Dzuhur, Maghrib atau Shubuh, dan setelah masuk waktu shalat yang cukup sekedar shalat dan bersesuci (mampet) yang tidak boleh dikerjakan sebelum masuknya waktu shalat, dan pada waktu permulaannya belum shalat,  maka cukup mengganti shalat pada permulaan haid atau nifasnya saja. Adapun pada waktu suci (mampet)nya, bila suci (mampet) pada waktu shalat Ashar atau Isya’ dan masih nututin sekedar takbiratu al-ihram, maka wajib mengganti shalatnya di waktu suci (mampet)nya dan di waktu permulaannya, bila waktu Dzuhur, Maghrib dan Isya’, maka wajib mengganti shalatnya hanya di waktu suci (mampet)nya.


BAB V
MA YAJIBU ‘ALA AL-MUSTAHADLAH

Kewajiban wanita mustahadlah setelah masuk waktu shalat harus mensuci (mampet)kan vaginanya dari najis yang tidak di-ma’fu[21], kemudian disumbat dari kapas atau sejenisnya, seperti softek dan lain sebagainya. Dan sumbatnya ini harus masuk kedalam vagina seluruhnya, kalau masih kelihatan keluar, maka shalatnya tidak sah, karena masih membawa barang najis. Apabila darahnya tembus dari sumbatnya, maka wajid diikat memakai kain atau sejenisnya.
Apabila menyakitkan ketika disumbat, karena darahnya sangat panas, atau wanita itu sedang berpuasa, maka tidak wajib disumbat, karena sumbat itu membatalkan puasa. Setelah disumbat, wanita itu harus bersegera ambil wudlu’ atau tayammum, kemudian shalat. Kewajiban mustahadlah seperti itu seterusnya, setiap mau mengerjakan shalat pada masuknya waktu shalat walau suci (mampet)nya belum dipakek mengerjakan shalat, maka wajib mengulang kewajiban-kewajiban tersebut.
Ada 3 hal yang mewajibkan mengulang kewajiban-kewajiban mustahadlah ketika mau mengerjakan shalat, antara lain:
1.         Sebab hadats sebelum dipakek memengerjakan shalat,
2.         Setelah berwudlu’ telat memengerjakan shalat,
Hal ini bukan karena kemaslahatan shalat, seperti: menjawab azan, menjawab iqamah dan menunggu berjamaah. Jadi, kalau untuk kemaslahatan shalat, maka tidak wajib mengulang kewajiban-kewajiban tersebut.
3.         Tembusnya darah dari sumbatnya,
Hal ini karena ikatannya kurang erat sewaktu mengikatnya, atau talinya itu mutanajjis[22] dengan najis yang tidak di-ma’fu, maka wajib diganti dengan sumbat dan tali yang suci (mampet).
Apabila setelah mengerjakan kewajiban-kewajiban tersebut, kemudian darah istihadlah-nya berhenti keluar, dan masih menututi waktu sekedar untuk mengerjakan shalat dan bersesuci (mampet), maka wajib bersesuci (mampet) lagi, dan wajib juga mengganti shalatnya yang dikerjakan dengan sesuci (mampet) yang digagalkan.
***
 Sudah selesai apa yang menjadi menjadi keinginan (mengarang risalah ini) oleh salah satu Ulama yang bernama Muhammad Habib bin KH. Muhammad Rais, yang bertempat tinggal di kampung Kalabaan Guluk-Guluk Sumenep Madura - Jawa Timur.
Risalah ini tammat dengan pertongan dan ridlo Allah ta’ala, perlu diingat bahwa pengarang sangat bersyukur alhamdu li al-AllahI atas tersusunnya risalah (nadzam) ini, yang dikarang oleh orang yang sangt bodoh. Semoga melimpahkan atau memberi hidayah atas kebaikan dan kemurahan-Nya. Dan Allah juga yang memberi hidayah atas barokah para guru dan ustadz, yang telah mentransfer pengetahuannya kepada kita semua, sampai pada jalan keberuntungan hidup di dunia dan di akhirat. Semoga risalah (nadzam) ini yang menerangkan: macam-macamnya darah, menjadi pelebur dosa dan semoga bermanfaat terhadap saudara semua, dan semoga ikhlas selamanya.
Saya mengakhiri risalah ini dengan menghaturkan shalawat serta salam kepada junjungan kita, yaitu Muhammad ibni Abdillah, keluarga dan para sahabatnya yang sama-sama memyandang sifat sempurna, Amien Ya Rabba al-‘alamin.



Sebuah Informasi:
Risalah ini adalah karangan orang dangkal ilmunya, dan tidak sempat dikoreksi dan mengkoreksikan kepada guru-guru, maka siapa saja yang menemukan kesalahan yang  berarti dari saya, mohon dengan rendah hati untuk memberi tahu kepada saya bila suatu saat bertemu dengan saya, yang ada di gambar di bawah ini. Atau bisa mengirim surat kepada Idris yang disebut di akhir risalah ini. Dan tidak boleh menfoto copy risalah ini, tanpa seizin pengaran.


[1]  Fardu ‘ain: Kewajiban invidu.
[2]  Muhrim: Orang yang haram dikawin dan tidak membatalkan wudlu’ ketika bersentuhan.
[3]  Terus-menerus: Seandainya vaginanya di turuh kapas di dalamnya, maka kapas itu sampai berlumuran darah.
[4]  Muharram: Bulan pertama Hijriyah, yang permulaan penghitungannya pada Nabi Muhammad hijrah Yatsrib (Madinag al-Munawwarah).
[5]  Putusnya: Darah berhenti keluar dari tanggal 6 sampai tanggal 10 Januari.
[6]  Al-Laqthu: Menurut pendapat Jumhuru al-‘Ulama’ (mayoritas atau kebanyakan ulama).
[7] Al-Sahab: Menurut pendapat Minuritas (sedikit) ulama.
[8]  Kalau terjadi seperti ini, wanita itu tidak mengalami masa nifas.
[9]  Wanita yang mula-mula keluar darah dan dapat membedakan darahnya.
[10]  Haidnya cuma 5 hari.
[11] Wanita yang mula-mula keluar darah dan tidak dapat membedakan darahnya.
[12] Wanita yang sudah pengalaman (sudah biasa) dan dapat membedakan darahnya.
[13] Mustahadlah: Wanita yang keluar darah lebih dari batas paling lamanya darah haiad atau nifas.
[14]  Wanita yang sudah pengalaman (sudah biasa) dan tidak dapat membedakan darahnya.
[15]  Buku aslinya memakai bulan Hijriyah, seperti: Muharram, Shafar dan Rabi’u al-Awwal.
[16]  Mulai tanggal 4 dan 6 dan sampai tanggal 15 pada bulan itu.
[17]  Wanita yang sudah terbiasa haid yang tidak dapat membedakan darahnya dan lupa terhadap lama keluarnya.
[18]  Wanita yang sudah terbiasa haid yang tidak dapat membedakan darahnya dan lupa terhadap waktu keluarnya.
[19]  Hal-hal yang diharamkan bagi seorang wanita yang lagi haid dan nifas.
[20]  Tabarruk: mengharap barokah.
[21]  Tidak di-ma’fu: tidak diampuni (wajib disuci (mampet)kan).
[22]  Mutanjjis: terkena najis